Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba menggeledah kantor
Gedung Korps Lalu-lintas Polri di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan,
Senin sore, 30 Juli 2012 hingga Selasa, 31 Juli 2012. Penggeledahan
tersebut terkait dengan kasus penggelapan dana pengadaan barang
simulator pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM). Belasan dus cokelat
dibawa dari kantor tersebut menuju kantor KPK di Jalan HR Rasuna Said,
Jakarta Selatan.
Selain menggeledah, KPK juga menetapkan mantan Kepala Korps Lalu
Lintas Mabes Polri yang kini menjabat Gubernur Akademi Kepolisian,
Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, sebagai tersangka. "DS ini
pernah menjabat sebagai Dirlantas Polri. KPK telah meningkatkan status
pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas Mabes Polri tahun anggaran
2011 itu sejak 27 Juli lalu," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi, dalam
jumpa pers, Selasa 31 Juli 2012.
Dalam jumpa pers bersama Polri di Kantor KPK itu, hadir juga Kepala
Biro Penerangan Masyarakat, Brigjen Pol Boy Rafli Amar. Ia menjelaskan,
kerugian dalam kasus ini mencapai puluhan miliar rupiah. "Nilai proyek
ini lebih dari Rp180 miliar," kata Boy.
Djoko, diduga menyelewengkan kewenangannya sehingga merugikan
negara. KPK pun menjerat Djoko dengan pasal penyalahgunaan kewenangan
dan memperkaya sendiri, yakni Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga merugikan negara. Namun,
KPK belum menjelaskan detail perkara yang melilit sang Jenderal.
Saat terjadi penggeledahan oleh KPK, polisi sempat melakukan aksi
penghadangan. Pun demikian saat penyidik KPK hendak meninggalkan kantor
Korlantas Polri dengan membawa belasan dus dokumen sebagai barang bukti.
Mobil KPK tidak bisa keluar karena jalan keluar kantor ditutup portal.
Kabarnya, Kepala Bagian Reserse Kriminal (Kabareskrim), Komisaris
Jenderal Sutarman, melarang tim penyidik KPK membawa sejumlah barang
bukti yang menjadi sitaan. "Makanya penggeledahan sempat terhenti,"
jelas Johan.
Guna membawa barang bukti yang menjadi sitaan, tiga pimpinan KPK,
Abraham Samad, Busyro Muqqodas, dan Bambang Widjojanto pun turun tangan.
Mereka mendatangi Korlantas untuk diskusi dengan Sutarman.
Penggeledahan dilakukan terus. Sambil menunggu, barang bukti yang disita
diletakkan sebuah ruang di Korlantas dan disegel yang dijaga oleh tim
penyidik KPK dan Mabes Polri.
Usai meyakinkan Sutarman, KPK akhirnya membawa juga barang bukti yang
disita dari Korlantas itu. Setelah menunggu 20 menit, akhirnya pihak
Mabes akhirnya mengizinkan KPK membawa barang bukti itu.
Pihak KPK membantah Polri menghalangi tugas anak buahnya. "Bukan
tertahan. Sejak jam 11 malam kami menemani tim penggeledahan di sini.
Insiden itu tidak ada," kata Busyro, Selasa 31 Juli 2012.
Menurut Busyro, pihak Markas Besar Polri bersikap kooperatif atas
penggeledahan yang berlangsung sejak Senin petang sampai dengan Selasa
dini hari. "Mereka menemani dengan ramah," ujarnya.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto ikut
angkat bicara. Dia membantah jika ada yang menghalangi penggeledahan
tersebut, apalagi sampai rebutan berkas. "Tidak ada itu," kata Djoko di
gedung Kementeriaan Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa 31 Juli
2012.
Djoko menjamin, polisi mendukung penuh pengusutan kasus dugaan
pengadaan simulator SIM. Dia juga menegaskan, tidak ada petugas polisi
yang menahan para penyidik KPK saat menggeledah. Menurut dia, yang
terjadi adalah tempat itu ditutup agar tidak mengganggu proses
penggeledahan KPK. Lokasi penggeledahan juga ditutup agar steril.
"Bukan ditahan. Proses untuk pemeriksaan penyidikan untuk soal barang
bukti cukup panjang dan lama, sebagaimana di tempat lain juga begitu.
Hanya ditutup karena tidak terganggu banyak pihak yang tidak
berkepentingan, itu saja," ungkapnya.
*****
Sejatinya, kasus penggelapan dana proyek simulator SIM ini sudah
lebih dahulu digarap kepolisian. Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri
Irjen Pol Anang Iskandar, proses evaluasi yang panjang dan saksi yang
banyak menyebabkan penyidikan kasus itu berlangsung lama. "Ada 33 saksi,
jadi butuh waktu," kata Anang.
Agar pengusutan kasus tidak tumpang tindih antara KPK dengan
kepolisian, Ketua KPK, Abraham Samad, bertemu dengan Kapolri Jenderal
Timur Pradopo, Selasa 31 Juli 2012 di Mabes Polri. Menurut Abraham, KPK
dan Polri sepakat bekerja sama dan membagi wilayah pengusutan dalam
kasus ini. Akhirnya dicapai kesepakatan, KPK menangani perkara korupsi
yang menyeret Djoko, sementara Polri mengurus pejabat pembuat komitmen
proyek tersebut.
Kepolisian juga sudah masuk ke penyidikan, tetapi tersangkanya beda.
Di kepolisian tersangkanya pejabat pembuat komitmen, kalau di KPK
tersangkanya DS. "Kami saling menghargai dalam pemberian informasi,"
tutur Anang.
Kapolri Jenderal Polisi, Timur Pradopo, mengatakan penanganan kasus
ini merupakan momentum untuk mengimplementasikan MoU kedua instansi.
"Misalnya, jika ada kasus yang sama-sama kami tangani. Di mana proses
pemeriksaannya, barang bukti apa yang perlukan, dan bagaimana cara
penyelesaiannya," jelasnya.
Timur menegaskan, Polri tetap berkomitmen dalam penegakan hukum,
khususnya masalah korupsi. Tidak terkecuali jika yang tersangkut adalah
personil bahkan pejabat di lingkungan polisi.
*****
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), semula pengadaan
driving simulator bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepolisian
dalam pengurusan SIM, sekaligus untuk melatih keterampilan calon
pengendara agar terhindar dari kecelakaan akibat meningkatnya jumlah
kepemilikan kendaraan bermotor.
Alat ini, jelas Direktur Divisi Investigasi ICW, Agus Sunaryanto,
merupakan alat simulasi mengendara bagi masyarakat yang mengikuti ujian
mengemudi. Dengan fasilitas ini, calon pemilik SIM tidak perlu
menggunakan kendaraan di lintasan jalan sesungguhnya. Cukup menggunakan
fasilitas simulator dengan lintasan yang tampil dalam layar monitor.
Ada dua jenis perlengkapan yang dibutuhkan Korlantas Mabes Polri,
yaitu driving simulator roda dua dan roda empat. Nilai pengadaan roda
dua ini sekitar Rp500 miliar untuk 700 unit dan roda empat sekitar Rp140
liliar untuk 556 unit.
Menurut analisa ICW, setidaknya ada empat hal yang harus diusut
KPK.
Pertama, persekongkolan tender. Kedua, KPK harus mengusut sub
kontrak pekerja utama.Agus menilai, Korlantas telah bekerjasama dengan salah satu
perusahaan swasta yang diduga hanyalah broker. Sebab, perusahaan
pemenang tender ini melimpahkan pekerjaan ini kepada perusahaan lain
(subkontrak). "Bahkan, direkturnya sudah divonis 3 tahun di PN Bandung.
Dia dianggap wanprestasi, karena penggelapan kontrak," katanya.
Ketiga, adanya indikasi suap yang dilakukan perusahaan pemenang
tender ke pejabat Korlantas. "Ada beberapa aliran dana dari pihak swasta
terhadap pejabat Korlantas," kata dia.
Keempat, adanya indikasi penggelembungan harga (mark-up) sekitar Rp100 miliar.
*****
Indonesia Police Watch (IPW) menilai penetapan Irjen Pol DS sebagai
tersangka kasus korupsi merupakan fenomena baru. Sejak berdiri 10 tahun
lalu, baru kali ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berani menyentuh
Kepolisian.
Ketua Presidium IPW Neta S Pane mengaku terkejut dengan langkah KPK
dalam mengusut dugaan penggelapan dana pengadaan barang simulator
pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM). "Selama ini hubungan KPK-Polri
dipenuhi dengan sikap ewuh-pakewuh karena 110 penyidik KPK adalah para
perwira Polri," kata Pane, Selasa 31 Juli 2012.
Dengan gebrakan terakhir, Neta berharap KPK tetap konsisten. Selain
itu, Neta berharap KPK waspada dan tidak dijadikan alat 'perang bintang'
dan persaingan tidak sehat mendekati pergantian Kapolri. KPK harus
menuntaskan pengusutan kasus tersebut agar tidak tercipta kesan bahwa
KPK hanya diperalat untuk menjatuhkan citra perwira tinggi tertentu
dalam persaingan calon Kapolri pasca Timur Pradopo.
Agar letupan konflik cicak-buaya tidak kembali terulang, ICW meminta
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan dalam kasus tersebut.
"Campur tangan Presiden ini diperlukan, karena polisi pembantu Presiden
dan Kapolri sekelas dengan menteri," kata peneliti ICW, Tama Satya
Langkun saat jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa 31 Juli
2012.
Tak hanya ICW, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar juga meminta
Presiden campur tangan untuk menindak tegas aparat yang terbukti
bersalah. "Tidak cukup dibongkar secara hukum, Presiden harus turun
tangan mencopot oknum yang terlibat, tidak pantas jadi polisi," kata
purnawirawan polisi itu.
Menurut Bambang, penghalangan penyidikan terhadap KPK yang dilakukan
polisi menunjukkan arogansi yang besar dalam tubuh institusi pimpinan
Jenderal Polisi Timur Pradopo. Padahal, kata Bambang, mereka telah
diberi kepercayaan oleh rakyat.
"Punya wewenang yang sangat besar tetapi digunakan untuk
menghalang-halangi penyelidikan. Kalau tidak dievaluasi, akan terus
berulang," kata Bambang. (HP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar