Bila
kemerdekaan negara kita yang diproklamirkan 68 tahun yang lalu berarti
kita merdeka berdaulat menyelenggarakan negara maka hal itu telah kita
capai. Akan tetapi kalau kemerdekaan berarti bebas dari penjajahan dan
berdaulat untuk mensejahterakan rakyat saya kira perlu dievaluasi.
Berabad lamanya kekayaan negeri kita diekploitasi untuk keuntungan bangsa lain, mulai dari raja-raja keturunan india yang menarik upeti dan mengangkut hasil bumi Nusantara dibawa ke India dan diperdagangkan keseluruh dunia hingga Columbus berlayar mengitari bumi untuk mencari negeri yang bernama India padahal hasil bumi produsennya adalah tanah Nusantara dan keringat bangsa Kita.
Kini mayoritas bangsa kita tetap penggarap tanah, hasil bumi tidak dilarikan ke luar negeri akan tetapi sebaliknya hasil bumi orang luar negeri diobral ke Indonesia akibatnya
hasil bumi petani kita tidak bernilai secara ekonomi yang berarti masal
petani Indonesia bekerja sia-sia. Coba buka saja data ekspor bahan
pangan kita, beras, gula, kedelai, gandum sampai garam! Pertanian kita
mati dibanjiri hasil pertanian luar negeri, aliran rupiah dari kota ke
desa bisa jadi menanti kucuran uang BLT dan dana PNPM Mandiri.
PETANI DAN SAPI PERAH
Seekor
sapi sedang melahirkan ditunggui pemiliknya dengan penuh harap semoga
lancar-lancar saja. Akhirnya anak sapi keluar dari perut induknya, anak
sapi tertatih-tatih belajar berdiri, induknya membersihkan lendir yang
masih menempel ditubuh anaknya. Pak Tani masuk rumah, sebentar kemudian
Dia membawa ember yang sudah dibersihkan selanjutnya dia kembali ke
kandang sapi. Dia menghampiri anak sapi yang tampak sedang berusaha
mengenali puting susu induknya, anak sapi sesaat diperiksa keadaannya
dan jenis kelaminnya, sebentar kemudian tak disangka anak sapi yang baru
lahir tersebut dicampakkan begitu saja selanjutnya dengan bersemangat
petani itu memerah susu sapi dan ditampung di ember yang bersih
tersebut.
Dari
ilustrasi peristiwa tersebut diatas betapa petani tidak menghiraukan
anak sapi yang secara alamiyah lebih berhak mendapatkan air susu
induknya dari pada petani itu sendiri yang menampung air susu sapi untuk
dikonsumsi sendiri atau berujung dijual kepasar.
Nasib
anak sapi tidak jauh berbeda dengan nasib para petani seumumnya. Petani
yang bersusah payah mengolah sawah dan ladang, akan tetapi
kesejahteraan tidak berpihak pada petani akibat sistem perekonomian yang
menguntungkan pada pihak-pihak yang tidak berkeringat menggarap
pertanian.
IMPOR KEDELAI MENOHOK PETANI LOKAL
Kedelai
impor segera melesak ke penjuru Tanah Air dengan fasilitas bea masuk
nol persen. Ini demi mengamankan pasokan kedelai sesuai keinginan
pemerintah. Tapi, di balik itu, pendapatan negara tergerus. Nasib petani kedelai lokal pun di ujung tanduk.
Thomas
Darmawan, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia
(GAPMMI), menegaskan, dibukanya keran impor kedelai itu memang secara
langsung menohok petani lokal.
"Kendati
kebijakan ini berlaku sementara, pemerintah tetap harus memberi
kepastian batasan tenggat waktu stabilisasi harga kedelai serta
kepastian volume impor kedelai. Hal itu dilakukan agar tidak menekan
petani lokal," kata Thomas, di Jakarta.
Thomas
mendesak pemerintah untuk tidak hanya memberi perhatian lebih kepada
importir kedelai. Cakupan subsidi pemerintah juga harus bisa menjangkau
petani kedelai lokal agar mereka tergerak mengembangkan tanaman palawija
itu.
"Dukungan
pemerintah bisa berupa subsidi pengadaan pupuk, bibit unggul, serta
penyediaan sarana pendukung pertanian. Dalam tahap pasca panen,
pemerintah harus memberikan kepastian distribusi atau penampung produksi
kedelai lokal," papar Thomas.
Pemerintah,
menurut Thomas, tidak boleh menganggap enteng persoalan kedelai.
Pasalnya, bukan hanya nasib petani kedelai yang dipertaruhkan, tapi juga
ratusan ribu tenaga kerja yang menggantungkan nasibnya pada produk
kedelai.
"Saat
ini ada 110 ribu badan usaha skala mikro yang menjadi pengrajin
berbahan baku kedelai. Belum lagi ratusan ribu pekerja yang bergantung
pada ketersediaan kedelai," tandas Thomas.
Terkait
potensi hilangnya pendapatan negara, Direktur Jenderal Bea Cukai Anwar
Suprijadi sudah mengisyaratkan itu. Kebijakan penghapusan bea masuk
impor kedelai telah menyebabkan potential loss bagi negara Rp 800 miliar.
Untuk
itu, pemerintah akan tetap melakukan harmonisasi tarif sesuai
kecenderungan yang terjadi. "Suatu upaya memfasilitasi perdagangan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi," papar Anwar.
Menteri
Pertanian Anton Apriyantono telah mematok impor kedelai tidak boleh
lebih dari 10% dengan asumsi pasokan kedelai lokal mampu memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri.
Itu
merupakan bagian dari target program swasembada kedelai pada 2011.
Untuk 2008, Deptan memasang asumsi produksi kedelai 917 ribu ton, 1,24
juta ton pada 2009, dan 1,6 juta ton pada 2010.
Di
sisi lain, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyebutkan, suplai
kedelai di dalam negeri relatif aman. "Tidak ada masalah dengan stok
kedelai. Tahun lalu saja kita mengimpor 1,36 juta ton kedelai. Tahun ini
produksi diharapkan naik dari 600 ribu ton menjadi 800 ribu ton. Dengan
begitu, angka impor bisa lebih rendah dari 1,36 juta ton," tutur Mari.
Menteri
Perindustrian Fahmi Idris menyampaikan, lonjakan harga kedelai lebih
dari 100% telah menurunkan utilisasi kapasitas produksi hingga 20%.
Tahun
lalu, produktivitas pengrajin tahu tempe juga anjlok hingga 500 ribu
ton. Pada 2006, tercatat 84.915 unit usaha tahu tempe bisa berproduksi
2.67 juta ton. Angkanya turun drastis hingga 2,17 juta ton pada 2007.
Padahal, dalam tiga tahun sebelumnya, usaha tempe terus tumbuh meski
tidak terlalu besar. (Sumber: inilah.com)
IMPOR KEDELAI SEPANJANG MASA?
Dalam
seminar setengah hari dengan tema Merumuskan Solusi dari Kebijakan dan
Teknologi yang diselenggarakan Tim Gabungan Komisi IV dan Komisi VII di
Ruang KacaGedung DPR/MPR Senayan mengisaratkan bahwa Indonesia
berpeluang swasembada kedelai yang merupakan bahan pangan penting rakyat
Indonesia.
Seminar ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan bersama akan kondisi perkedelaian di Indonesia. Indonesia, menurut catatan, pernah mengalami masa-masa berswasembada kedelai hingga masa puncaknya terjadi pada tahun 1992. Sayangnya, dengan munculnya pasar bebas, kebijakan tata niaga kedelai pun berubah. Misalnya, kemudahan impor kedelai dengan biaya yang murah, ditambah tarif bea masuk yang ringan, sehingga itu mengubah situasi sehingga kemudian Indonesia berbalik menjadi negara pengimpor kedelai.
Kebutuhan
pangan kedelai di Tanah Air, 2 juta ton setahun. Produksi kedelai
sempat mencapai posisi swasembada, yakni mampu menghasilkan 1,8 juta
ton pada tahun 1992. Sejak tahun 1993 tingkat produksi menurun hingga
mencapai titik kulminasi pada 2003, yakni hanya 671.600 ton. "Dari tahun
2004 sampai dengan tahun 2006 mulai meningkat, tetapi berjalan lambat.
Akibat minimnya pasokan kedelai tersebut melahirkan kebijakan impor kedelai dari berbagai negara seperti Amerika, Argentina, Brazil, Canada, Argentina, dan Cina.
Kebijakan
ini dipicu pula oleh situasi pasar dunia yang berubah dengan kebebasan
tiap negara memasarkan produk-produk ke penjuru dunia. Akibat impor
kedelai dalam lima tahun (2000-2005) negara kehilangan devisa sebesar
sekitar Rp 3 triliun.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Merauke, Juni 2006 lalu. bertekad untuk bangkit kembali menuju swasembada kedelai dengan program khusus "Bangkit Kedelai" untuk mempercepat swasembada.
Kedelai sebagai sumber pangan strategis karena beberapa alasan krusial.
Pertama, kedelai merupakan sumber protein nabati paling menyehatkan.
Kedua, kedelai itu murah dan terjangkau oleh sebagian besar rakyat.
Ketiga,
mudah disimpan. Dan keempat, kedelai dapat diolah menjadi berbagai
jenis produk pangan dan bahan baku industri (memperpanjang rantai
ekonomi).
Hasil kerja penelitian LIPI yang berkaitan dengan budidaya kedelai membuktikan adanya bakteri penambat nitrogen, rhizobium, yang istimewa karena mampu bersimbiosis dengan berbagai jenis tanaman pangan dan bahkan tanaman untuk kehutanan. Dengan demikian, pengembangan budidaya kedelai di Indonesia bukanlah hal yang mustahil.
Pengembangan
budidaya kedelai diperlukan kebijakan antara lain kebijakan benih
kedelai, kebijakan harga yang berorientasi pada petani, kebijakan
pengembangan paket teknologi, termasuk teknologi peningkatan nilai
tambah kedelai, kebijakan subsidi sarana produksi, penyimpangan dan
pengendalian impor, serta kebijakan perdagangan dalam negeri yang
kondusif.
Sungguh ironis bila negara agraris dengan kondisi alam yang subur seperti Indonesia masih terus-menerus impor kedelai. Padahal di negeri ini makanan berbahan dasar kedelai sudah menjadi menu harian. Sebutlah tempe dan tahu yang sudah tak asing di lidah masyarakat Indonesia bahan bakunya impor, duit Kita lari ke luar negeri tidak kembali ke petani.
IMPOR GARAM NEGERI KELAUTAN
Ironis,
Indonesia negeri kelautan dengan pantai terpanjang didunia ternyata
mengimpor garam dari Australia yang harganya empat kali lipat, duit yang
semestinya bisa mensejahterakan petani garam mengapa harus dilarikan
keluar negeri?
Pemerintah
mengeluarkan izin impor garam sebanyak 1.908.003 ton per 2005 ini,
terdiri atas garam industri sebanyak 1.828.003 ton dan garam konsumsi
beriodium sebanyak 80.000 ton. Khusus untuk garam konsumsi, 80.000 ton
yang diberikan izinnya kepada lima importir produsen (IP) baru mencapai
sekitar 30% dari total rencana impor garam konsumsi yang direncanakan
sebanyak 274.500 ton.
Ketua
Umum Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beriodium (Aprogakob) Abu Hidayat
mengatakan rencana impor 274.500 ton yang ditetapkan para stakeholder
garam per 7 April itu merupakan revisi atas angka 350.000 ton yang
ditetapkan 9 Maret.
"BMG
memprediksi panen tahun ini hanya dua bulan, biasanya tiga bulan. Kalau
izin impor 30% tidak diperbesar, otomatis harga naik. Tapi yang
menikmati untung pedagang, bukan petani," ujarnya dalam RDPU dengan
Komisi VI DPR di Jakarta, kemarin.
Impor garam konsumsi beriodium
Abu
mengatakan stok di tangan petani saat ini hanya mencapai 52.000 ton
versi Aprogakob, dan 57.760 ton versi Disperindag Jatim. Kedua data itu,
tidak sampai 10% dari garam milik pedagang yang mencapai lebih dari 1
juta ton.
Dia
sendiri membedakan antara petani yang juga pedagang di satu pihak dan
petani murni di lain pihak. Yang pertama, kata dia, masuk dalam kategori
pedagang, sebab mereka memiliki modal untuk menyimpan stok, sedang
petani tidak.
Karena
itu, pihaknya meminta agar publik tidak serta-merta menyimpulkan
pemihakan kepada petani garam diterjemahkan dengan menghambat impor.
"Kalau petani sekarang punya garam, saya sepakat impor garam dihambat,
karena yang untung petani," tegasnya.
Tapi
meski mengakui kecilnya izin impor yang dikeluarkan pemerintah
menguntungkan pedagang, Abu memilih tidak berkomentar ketika ditanya
apakah kebijakan tersebut merupakan hasil persekongkolan antara
pemerintah dan pedagang.
Yang
pasti, kata dia, persoalannya bukan impor atau tidak impor. Sebab harga
impor garam konsumsi beriodium dari Australia yang mencapai US$42/ ton
(FOB), atau sekitar Rp400/kg berselisih sangat jauh dengan harga garam
di tingkat petani.
"Dengan
harga impor itu kan bisa dilihat. Dibanding harga garam petani
Rp100/kg, selisihnya kan jauh sekali. Kalau mengimpor seharga Rp400/kg
saja sudah bisa untung, apalagi bila membeli harga garam petani
Rp100/kg," katanya. Karena itu, dia menegaskan, pemerintah mestinya
segera merevisi kebijakan tata niaga garam yang tertuang dalam SK
360/2004, terutama terhadap tiga hal, yaitu masalah standar, harga, dan
kualitas.
Untuk
masalah harga, Abu menekankan, batas harga garam yang ditetapkan SK 360
yaitu K1 (kualitas I) Rp145/kg, K2 Rp100/kg, dan K3 Rp70/kg, sudah
tidak relevan. "Kami juga sudah usulkan ini, agar harganya dinaikkan,
tapi juga belum direspons," akunya.
Wakil
Ketua Komisi VI Irmadi Lubis mengatakan sangat tidak masuk akal para
importir lebih suka mengimpor meski ada selisih Rp300/kg dengan harga
garam petani. "Saya curiga ada moral hazard besar-besaran di sini. Dan
pemerintah terlibat," tandasnya.
IMPOR GULA TAK TERKENDALI DENGAN BAIK
Pengendalian
impor gula yang dilakukan pemerintah sejak tahun 2002 dianggap masih
sangat kurang, sehingga tetap saja tidak berpihak kepada petani tebu dan
menyebabkan gula lokal kurang laku.
Kebijakan
tersebut menyebabkan tingkat pembelian tebu menjadi murah kepada
petani. Padahal logikanya ketika harga gula mahal, harga tebu bakal
mahal juga.
Pemerintah
mestinya harus segera mengambil sejumlah langkah strategis dengan
meningkatkan pengawasan impor gula, perbaikan benih dan cara tanam di
tingkat petani, semua PG (Pabrik Gula) harus melakukan efisiensi.
Pengawasan
distribusi dan impor gula harus diawasi ketat oleh pemerintah, termasuk
pembedaan distribusi gula putih dan rafinasi, karena itu berbeda. Perlu
komitmen yang tinggi dari pihak yang terkait seperti pemerintah, PTPN
dan petani tebu rakyat sesuai dengan kapasitas masing-masing, sehingga
saling menguntungkan. Jadi bukan hanya perusahaan saja yang untung,
namun petani juga untung,
Lemahnya
pengawasan sangat berakibat pada kerugian yang semakin tinggi diderita
petani tebu rakyat. Apalagi volume impor gula putih semakin tahun
semakin tinggi, bahkan pada tahun 2007 saja impor sudah mencapai 3 juta
ton.
Dalam Malam Tirakatan, 16 Agustus 2013
Azhar Muhammad
Dalam Malam Tirakatan, 16 Agustus 2013
Azhar Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar