| |
Kekerasan sesama pemeluk agama kembali terjadi dan telah memakan korban dengan menewaskan saudara sebangsa. Sekelompok orang menyerbu dan membantai anggota jemaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten beberapa waktu lalu. Sejumlah orang meninggal dan cidera dihakimi massa yang menganggap mereka sesat. Itu peristiwa berdarah pertama tahun ini yang dibingkai sentimen keyakinan, dan insiden kesekian kali yang menimpa kelompok minoritas itu. Ia juga sekaligus melengkapi kenyataan bahwa hingga kini kekerasan terhadap kelompok minoritas tak kunjung bisa dibendung. Tahun lalu, sebagaimana dilaporkan Setara Institute, tercatat 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di 20 provinsi. Tingkat pelanggaran tertinggi di Jawa Barat, 91 peristiwa. Lalu Jawa Timur 28, Jakarta 16 insiden, Sumatera Utara 15 dan Jawa Tengah 10 peristiwa. Penindasan terhadap kelompok minoritas itu kembali menunjukkan tentang kondisi nyata kebebasan beragama/berkeyakinan di Tanah Air belum mendapat jaminan utuh dari negara. Praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan masih terus terjadi. Padahal secara normatif negara telah meneguhkan komitmennya melalui Pasal 28 e ayat (1 dan 2) UUD 1945. Jaminan yang sama juga tertuang dalam UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. Namun demikian, politik pembatasan terhadap hak itu masih terus terjadi. Sebelum insiden Cikeusik, Banten, publik tentu masih ingat peristiwa di Mataram Nusa Tenggara Barat. Bagaimana, warga mengintimidasi dan mengusir dan membakar permukinan dan tempat ibadah saudara sebangsanya. Peristiwa di Bogor dan Kuningan Jawa Barat juga demikian, atau peristiwa Bekasi, ketika umat Nasrani dihalang-halangi dan diusir dari tempat mereka beribadah. Semua insiden itu menyisakan luka batin dan cidera fisik yang tentu disertai korban harta benda, bahkan nyawa. Negara seharusnya tak menunggu hal itu terjadi karena undang- undang telah menggariskan demikian. Publik sering terheran-heran, mengapa orang sesuku dan seagama bisa baku bunuh. Padahal, sudah berabad-abad kita hidup dalam suasana yang tenang dan bersama-sama menciptakan kerukunan yang jadi sesuatu yang khas dalam kehidupan bangsa, seperti yang diajarkan para pendidik kita sewaktu di sekolah dasar dulu. Tapi itulah yang terjadi. Kita kadang tak habis mengerti, mengapa ada saja orang atau kelompok yang memaksakan kehendaknya atas orang atau kelompok lain. Sungguh memilukan hati! MASRUR SYU’DI Serdang, Kemayoran Jakarta Pusat masrur_syudi@yahoo.com |
Telah Hilang Kultur Keramahan Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
betul banget bro
Posting Komentar