. PERDAGANGAN BEBAS INDONESIA MANUT SAJA

PERDAGANGAN BEBAS INDONESIA MANUT SAJA

Pelajaran dari Liberalisasi Perdagangan ala WTO

Tiga negara dengan jumlah penduduk terbesar didunia antara lain Indonesia, India dan China mempunyai persoalan yang hampir sama yaitu persoalan jumlah penduduk, dalam pengambilan kebijakan yang berdampak luas atas masa depan perekonomian bangsanya harus dilakukan secara berhati-hati. Patriotisme, kecakapan, dan kepekaan terhadap kepentingan rakyat menjadi pembeda sikap pemimpin tiga negara tersebut atas Sidang WTO di Jenewa.
Indonesia sangat berbeda dengan yang ditunjukkan Cina dan India. Kedua negara itu berkeras melindungi jutaan petani di negara mereka. Dua negara dengan pertumbuhan ekonomi terpesat di dunia itu tetap menolak proposal yang diajukan Ketua WTO Pascal Lamy.



Pemimpin China dan India Gigih Membela Kepentingan Nasionalnya.

World Trade Organization (WTO) yang merupakan salah satu pilar ekonomi kapitalisme global, baru saja menyelesaikan sidang putaran Jenewa yang dihadiri oleh 40 menteri perdagangan dari 40 negara. Namun sidang WTO yang berlangsung selama 9 hari itu gagal menghasilkan kesepakatan baru terkait penurunan tariff masuk produk-produk pertanian. Kegagalan itu merupakan yang kedua setelah perundingan WTO di Doha tahun 2001 juga mengalami nasib yang sama.
Ketua World Trade Organization, Pascal Lamy secara resmi akhirnya harus mengatakan di depan ratusan wartawan di Jenewa pada akhir Juli 2008 lalu. “Pihak-pihak yang bersilang pendapat tidak berhasil mencari solusi untuk mencari jalan tengah sehingga perundingan gagal menghasilkan kesepakatan,” ujarnya.

Negara-negara kapitalis utama langsung menuduh negara-negara berkembang, khususnya India dan China sebagai penyebab dibalik kegagalan perundingan WTO. Bahkan mereka menuduh India ingin menggagalkan perundingan WTO. Negara-negara maju menilainya sebagai langkah kemunduran bagi ekonomi global dan akan berdampak buruk bagi ekonomi dunia secara keseluruhan. Negosiator Urusan Perdagangan Uni Eropa, Peter Mandelson tak ketinggalan berkomentar. Dia mengatakan, kegagalan perundingan WTO telah mengubur harapan banyak pihak yang ingin melihat dunia lebih sejahtera. Beberapa analis, bahkan mengatakan kegagalan WTO merupakan akhir kesepakatan perdagangan multi pihak.

Respon negara-negara industri maju yang cenderung memblow-up kegagalan perundingan WTO akan berdampak buruk bagi ekonomi dunia, bukan tanpa maksud. Banyak pihak menyebutnya sebagai politik Barat untuk menakut-nakuti negara berkembang agar bersikap lunak dalam perundingan WTO pada musim panas tahun depan, serta upaya untuk menimpakan sebagian tanggung jawab munculnya berbagai macam krisis yang menghantui ekonomi dunia saat ini, kepada kebijakan negara-negara berkembang yang masih memproteksi pasarnya. Krisis terjadi, menurut versi Barat, karena negara-negara berkembang tidak mampu memanfaatkan peluang-peluang perdagangan bebas untuk kemakmuran rakyatnya.

Akar permasalahannya sebetulnya terfokus pada 2 hal, pertama ketimpangan mekanisme pengambilan keputusan dalam sidang-sidang WTO antara negara-negara berperekonomian maju dengan negara berkembang yang memiliki ekonomi lemah. Selama ini, hanya 7 negara yang memiliki suara kuat dan berpengaruh dalam WTO, karena ke-7 negara ini menjadi penopang utama perdagangan dunia, sementara 145 negara lainnya hanya pemain pinggiran yang tidak memiliki suara atau pun pengaruh dalam pengambilan keputusan dalam sidang-sidang WTO. Dan kedua, adanya keingingan negara-negara industri baru seperti China, India, Brazil dan Australia yang ingin masuk dalam lingkaran negara-negara industri maju konvensional seperti AS, Uni Eropa dan Jepang, namun langkah ke-4 negara-negara industri baru itu tampaknya tidak mendapat restu dari para pendahulunya.

Dalam konteks kegagalan perundingan WTO di Jenewa, negara-negara maju cenderung menyalahkan India sebagai penyebabnya, karena India dinilai tetap bersikeras menuntut penambahan pajak yang tinggi bagi produk-produk impor negara-negara maju yang masuk ke pasar local. Alasannya, untuk melindungi produksi pertanian dalam negerinya. Sementara, AS menginginkan pembukaan pasar India (pasar terbesar kedua setelah China di Asia) seluas-luasnya bagi produk-produk pertaniannya tanpa hambatan tariff dengan alasan prinsip kebebasan perdagangan.

Disisi lain, India tetap bersikeras ingin menaikan pajak dan tariff bagi komoditas impor produk-produk pertanian dari negara-negara maju dengan alasan untuk melindungi produksi pertanian dalam negeri. Jalan tengah yang diusulkan Ketua WTO yang membolehkan India menaikan tariff bea masuk jika impor negara itu meningkat 40 persen, masih ditolaknya. India beralasan, prosentase itu terlalu tinggi, selain itu Pemerintah AS dan Eropa juga masih mensubsidi para petaninya, sehingga daya serap pasar AS dan Eropa sangat kecil terhadap produk-produk impor negara-negara berkembang, disamping harga produk-produk Eropa lebih murah dari produk sejenisnya di India karena disubsidi, sehingga jika dibiarkan masuk, maka akan membuat para petani India bangkrut.

Membesarnya peran WTO dalam perdagangan dunia dan lokal semakin membuktikan bahwa badan perdagangan ini merupakan batu loncatan bagi kekuatan-kekuatan kapitalis untuk menguasai perdagangan global, padahal pada awal berdirinya WTO berkomitmen menjadi pelindung bagi kepentingan negara-negara miskin. Pembesaran peran WTO ini telah menyebabkan separuh penduduk dunia saat ini hidup dibawah garis kemiskinan, sementara 90 persen dari investasi di negara-negara berkembang dikuasai negara-negara maju. Negara-negara maju juga telah mendapatkan 97 % dari hak istimewa investasi global. Dengan prosentase itu, saat ini 80 % dari total investasi di negara-negara berkembang berada di tangan perusahaan-perusahaan raksasa Eropa dan AS.

Jika keanggotaannya negara-negara berkembang dan miskin dalam WTO justru semakin memperpuruk kondisi ekonomi lokalnya dengan membanjirnya produk-produk negara-negara maju memasuki pasar nasional, maka apa manfaatnya mempertahankan eksistensi organisasi ini. Jadi sudah saatnya negara-negara Islam dan berkembang untuk mengambil pelajaran dari keberadaan WTO selama ini. Tidak ada satu tindakan yang tepat kecuali secara bersama-sama keluar dari WTO dan meneriakan suara yang lantang menolak perdagangan bebas, karena faktanya organisasi WTO cenderung mengakomodir kepentingan ekonomi dan bisnis negara-negara industri maju dan menjadikan negara-negara berkembang hanya sebagai konsumen bagi produk-produk negara-negara maju, lantas siapakah yang akan menyusul keberanian India melawan hegemoni kekuatan kapitalis dunia?

Jeratan Perjanjian Perdagangan Bebas Atas Indonesia

Tahun 2009, boleh dikatakan sebagai tahun perundingan internasional. Sedikitnya ada tiga forum pertemuan para pemimpin dunia yang menyedot perhatian masyarakat, yaitu G20 London Summit, (Ap
ril 2009), WTO Genewa (Desember 2009) dan pertemuan Kopenhagen untuk mengatasi perubahan Iklim (Desember 2009).

Perundingan internasional tersebut memiliki arti penting, khsusunya dalam mengatasi dua masalah besar yang tengah dihadapi masyarakat dunia dewasa ini, yaitu pertama, krisis keuangan global yang terjadi sejak ahir 2008 dan belum ada tanda-tanda pemulihan signifikan hingga saat ini. Bahkan secara beruntun krisis juga menghantam Dubai salah satu pusat penumpukan kapital dunia. Kedua adalah masalah perubahan iklim (climate change) sebagai ancaman terbesar bagi masa depan planet bumi, yang memaksa negara-negara harus menahan diri untuk tidak mengejar pertumbuhan, mengurangi emisi dan menurunkan laju deforestasi.

Kedua masalah ini tampak ada kontradiksi, satu sisi negara maju khususnya sedang berhadapan dengan krisis yang berimplikasi terhadap PHK dan peningkatan pengangguran yang mengharuskan mereka untuk meningkatkan eksploitasi sumber daya, konsumsi energi, meningkatkan skala investasi industri dalam rangka menyediakan kesempatan kerja. Sementara pada sisi lain planet bumi semakin terancam akibat rakusnya negara-negara industri maju dalam melahap sumber daya alam.

Baik krisis finasial global maupun perubahan iklim global, sama sekali tidak menjadi pelajaran bagi negara-negara maju terutama AS, Jepang dan UE bahwa sumber utama dari masalah yang dihadapi umat manusia saat ini adalah sistem kapitalisme. Suatu sistem yang menimbulkan praktek eksploitasi tanpa batas, akumulasi pada segelintir orang dan menciptakan kemiskinan bagi mayoritas umat manusia. Kapitalisme yang dalam prakteknya dijalankan melalui neoliberalisme yang bertumpu pada liberalisasi, privatisasi dan deregulasi adalah penyebab utama dari krisis keuangan dan sekaligus krisis lingkungan.

Jalan penyelesaian krisis financial yang diambil tetap sama, yaitu memperluas investasi dan meningkatkan aktivitas perdagangan bebas. Demikian halnya jalan bagi penyelesaian krisis lingkungan yang bertumpu pada tiga hal, investasi teknologi baru, perdagangan karbon dan peningkatan utang luar negeri bagi negara-negara berkembang dalam rangka melakukan mitigasi dan adaptasi skema penyelesaian krisis perubahan iklim. Cara-cara neoliberalisme yang konservatif dan usang terus dipertahankan yang sudah pasti akan memperparah keadaan.

Dalam barisan negara-negara miskin, Indonesia adalah pendukung utama ide negara-negara maju dalam ketiga pertemuan tersebut. Dalam G20 Indonesia mengusulkan skema utang luar negeri melalui counter cyclical policy, melalui WTO Indonesia adalah yang paling aktif dalam menyukseskan Putaran Doha (Doha Development Agenda). Sedangkan untuk pertemuan perubahan iklim Kopenhagen yang gagal meraih kesepakatan, SBY telah menyatakan menerima Copenhagen Accord (Traktat Kopenhagen) hasil perundingan tertutup beberapa pemimpin negara yang dipimpin AS. Sepertinya SBY berharap 2010 semakin banyak utang yang masuk ke Indonesia dalam skema perubahan iklim untuk menahan laju deforestasi di negara ini.

Sepak terjang SBY dalam beberapa perundingan internasional ini harus diwaspadi, mengingat di sekeliling presiden adalah penganut fundamentalisme pasar seperti Boediono, Sri Mulyani, yang tidak segan-segan mengorbankan kepentingan mayoritas rakyat untuk keyakinan ideologinya tersebut, termasuk aktifnya Mari Elka Pangestu menandatangani Free Trade Agrement (FTA). Tahun 2010 akan menjadi tahun penuh utang dan serbuan barang impor, sebagai akibat langsung dari perjanjian internasional dan kesepakatan perdagangan bebas yang ditandatangani pemerintahan SBY - Boediono. Mulai tahun 2010, besiaplah untuk menghadapi era penghisapan kapitalisme neoliberalisme paling massif dalam sejarah perkembangan masyarakat Indonesia. Era tahun 2010 peluang aliran rupiah ketangan masyarakat petani desa jelas sulit sekali, kebutuhan masyarakat kota atas produk pertanian telah terpebuhi oleh barang-barang impor. 

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Great blog! Do you havе аny suggestiοns foг
aspiring writers? Ӏ'm hoping to start my own blog soon but I'm a
little lost on everything. Would you adѵise stаrting ωith
а frеe platform lіke Wordpгеss oг
go foг a paid option? There are sо many oρtions out there that Ι'm totally confused .. Any ideas? Cheers!
Here is my blog post - galaxy note 2

Anonim mengatakan...

Whаt's up colleagues, pleasant piece of writing and nice urging commented at this place, I am in fact enjoying by these.
Here is my webpage :: free electronic cigarette

Anonim mengatakan...

Niсe pοst. I was checkіng constantly this weblog аnd І'm impressed! Very helpful info specially the remaining section :) I maintain such info much. I was looking for this certain info for a very long time. Thank you and good luck.
Feel free to surf my web-site ; eurovore

Anonim mengatakan...

Hmm is anуonе else having ρгoblems with the pictuгes on thіs blog loading?

Ι'm trying to determine if its a problem on my end or if it'ѕ thе blοg.
Αnу feеd-back woulԁ be gгeatly appreciated.
my web page - forex trade brokers

.

.
.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...