Generasi terdahulu umat Islam dari kalangan Sahabat dan Tabi’in kata Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah selalu berkumpul untuk tilawah dan saling menyimak Al-Qur’an dalam rangka menata hati dan mensucikan jiwa mereka. Rumah-rumah mereka, khususnya di bulan Ramadhan, berdengung tak ubahnya lebah-lebah, terpancari sinar, bertabur kebahagiaan. Mereka membaca Al-Qur’an dengan tartil, berhenti sejenak pada ayat-ayat yang membuat mereka ta’jub, menangis di kala mendengar keindahan nasehat-nasehatNya, gembira dengan kabar kebahagiaan. Mereka mentaati perintahNya sebagaimana menjauhi larangaNnya.
Makna istilah qiro’ah – tilawah – tadarus – tadabur memiliki makna yang berbeda-beda aplikasinya dalam menyikapi Al Qur’an sebagai kitab suci bagi umat muslimin ini. Lantas apa perbedaannya ? apa saja definisi-definisinya ? Nah, mari kita tinjau sejenak bersama-sama.
TILAWAH
Kata “tilawah” dengan berbagai derivasi dan variasi maknanya dalam Al-Qur’an terulang/disebutkan sebanyak 63 kali. Kata tilawah ini dalam beberapa kitab seperti dalam al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir, Al-Shahib Ibn ‘Ibad dalam al-Muhith fi al-Lughah, Ibnu Mandhur dalam Lisan al-‘Arab, dan dalam Mukhtar al-Shihah, secara leksial/harfiah mengandung makna “bukan sekedar” membaca (qiro’ah).
Hemat kata, tilawah dapat diartikan sebagai pembacaan yang bersifat spiritual atau aktifitas membaca yang diikuti komitmen dan kehendak untuk mengikuti apa yang dibaca itu. Sedangkan qiro’ah dapat dimaknai sebagai aktifitas membaca secara kognitif atau kegiatan membaca secara umum, sementara tilawah adalah membaca sesuatu dengan sikap pengagungan. Oleh karena itu, dalam Al Qur’an kata tilawahsering digunakan daripada kata qiro’ah dalam konteks tugas para Rasul ‘alaihimussalam.
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitabnya Majalis Syahr Ramadlan menguraikan cakupan makna tilawah dalam dua macam :
- Tilawah hukmiyah, yaitu membenarkan segala informasi Al Qur’an dan menerapkan segala ketetapan hukumnya dengan cara menunaikan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.
- Tilawah lafdziyah, yaitu membacanya. Inilah yang keutamaannya diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadits Bukhari: خَيرُكُم مَنْ تعَلَّمَ القُرآنَ وعَلَّمَه; sebaik-baiknya diantara kamu adalah yang belajar Al Qur’an dan yang mengajarkannya”.
TADARUS
Kata tadarus berasal dari kata (darosa) yang berarti membaca (qiro’ah) atau berlatih dan selalu menjaga (الرياضة والتعهد للشيئ). Ketika ada imbuhan huruf ta’ dan alifpada kata darasa, maka maknanya berubah menjadi ‘saling membaca’. Dari sinilah kita kenal kata “tadarus” atau “mudarasah“. Sehingga dua kata ini dapat diartikan “membaca, menelaah, dan mendapatkan ilmu secara bersama-sama, di mana dalam prosesnya mereka sama-sama aktif”. Hal ini diisyaratkan dalam firman Allah s.w.t. di Ali ‘Imran:79مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُون; tidak wajar bagi manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.
Sampai disini dapat dipahami bahwa, mudarasah atau tadarus merupakan sebuah proses atau mekanisme untuk melakukan tadabur Al Qur’an.
TADABBUR
Sedangkan kata “tadabbur” sendiri terdapat diantaranya dalam QS. An Nisaa’ ayat 82, secara leksikal/harfiah tadabbur mengandung beberapa filosofi makna, yakni: refleksi (reflection), meditasi (meditation), berfikir (thinking), pertimbangan (consideration) dan perenungan (contemplation). Mencermati rangkaian makna terbaca, kata ini memiliki makna integral dalam konteks kecerdasan manusia; intelektual, spiritual dan moral. Itulah kemungkinan yang dapat kita tangkap mengapa Al-Qur’an menggunakan kata tadabbur.
Interaksi yang Produktif
Agar visi tadarus/mudarasah Al-Qur’an tercapai dengan baik maka, perlu memperhatikan beberapa hal di bawah ini :
Pertama, memiliki pandangan integral terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan dustur Ilahi yang menata dan mengarahkan kehidupan.
Kedua, pembacaan, tadabbur dan mencermati secara mendalam. Bagian ini terwujud dengan dua hal pula :
a) verifikasi pemahaman dan ilmu kita tentang al-Qur’an.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرً ; maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya). (QS. An Nisaa’:82)
b) aktualisasi ajaran al-Qur’an dalam lapangan kehidupan nyata, bukan sekedar pengetahuan wacana dan bersifat kognitif belaka; baik pada tataran pribadi, keluarga dan masyarakat. Ini berarti al-Qur’an menjadi kode etik kehidupan kita.
Ketiga, memegang komitmen yang baik tentang manhaj talaqqi. Artinya, menancapkan dalam sanubari kita serta merasakan ‘seolah-olah’ Al-Qur’an diturunkan kepada kita dan kita berdialog aktif dengannya.
Fungsi serta Manfaat Mudarasah dan Tadabbur
- Sarana dan media untuk menambah ilmu. Tentunya, dengan melakukanmudarasah secara bersama-sama dengan orang lain semakin menambah cakrawala keilmuan kita. Ingat, Rasulullah s.a.w. selalu rajin mempelajari Al-Qur’an dan mencermati ayat-ayatnya, sehingga beliau mengetahui dengan sempurna maksud dan maknanya dengan tadarus/mudarasah bersama Jibril ‘alaihissalam.
- Membantu proses menjaga Al-Qur’an yang telah kita kuasai serta tidak mudah lupa dan lalai.
- Memupuk dan membina rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan sesama muslim. Dengan demikian, Islam telah melakukan proses pendidikan nalar kolektif dan etika bersama; kita membangun karakter yang kuat.
- Sebagai sarana dan media tazkyatun nufus, mensucikan jiwa.
- Mendatangkan rahmat dan ketenteraman bagi umat.
- Memperbaiki kualitas tilawah.
- ورتل القرآن ترتيلا ; Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan). (Al Muzzammil:4)
Tadabur Al-Qur'an
Tadabbur adalah perenungan yang menyeluruh untuk mengetahui maksud dan makna dari suatu ungkapan secara mendalam.
Tanda-tanda tadabbur
Allah telah menyebutkan dalam Al-Qur’an berkaitan dengan tanda-tanda tadabbur. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, “Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad).” (QS. Al-Ma’idah: 83).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfaal: 2).
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, “Siapakah diantara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124).
“Katakanlah, “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang yang diberi pengetahuan sebenarnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, “Mahasuci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur aras muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Israa’:107-109)
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58).
”Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73).
“Dan apabila dibacakan (Al-Qur’an) kepada mereka, mereka berkata, “Kami beriman kepadanya, sesunguhnya Al-Qur’an itu adalah suatu kebenaran dari Rabb kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan (nya).” (QS. Al-Qashash: 53).
Berdasarkan ayat-ayat diatas, dapat disimpulkan tanda-tanda tadabbur, yaitu:
- Menyatukan hati dan pikiran ketika membaca Al-Qur’an.
- Menangis karena takut kepada Allah
- Bertambahnya kekhusyu’an
- Bertambahnya iman
- Merasa Bahagia dan gembira.
- Gemetar karena rasa takut kepada Allah, kemudian diikuti dengan pengharapan dan ketenangan.
- Bersujud sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah.
Makna Qira’ah
Asalnya, kata ini berarti menyatukan (jama’a) huruf atau kalimat dengan selainnya dalam suatu bacaan. Derivat (bentuk turunan) kata dasar ini memiliki makna-makna diantaranya:
• tafahhama (berusaha memahami),
• daarasa (terus mempelajari),
• tafaqqaha (berupaya mengerti secara mendalam), dan
• hafizha (menghafal) karena menghafal juga berarti jama'a (mengumpulkan) dan dhamma(menyatukan).
[Lihat: Mu'jam Mufradat Alfazhil Qur'an hal. 413-414; dan Lisanul 'Arab I/128-133.]
Tentu saja, jika aspek-aspek makna kata ini dirangkai maka akan terlihat jelas bahwa tujuan penyatuan berbagai huruf dan kalimat adalah untuk memahami serta mengungkap makna, sehingga akan terlahir pemahaman, pengertian dan pelajaran. Adapun hafalan (tahfizh) merupakan satu tahap pengumpulan ide dan kaidah, untuk kemudian secara intelektual diproses lewat dirasah, tafaqquh dan tafahhum. Oleh karena itu, dalam penggunaan kontemporer, kata qira’ah ini diderivasi menjadi istiqra' yang berarti eksplorasi, investigasi, analisa, penelitian dan pengujian.
Dalam sebuah hadits tentang syarat imam shalat disebutkan kata aqra’uhum li kitabillah. [Lihat: Shahih Bukhari I/245-246 dan Shahih Muslim I/465 hadits no. 673]
Para ulama' memaknai kata ini dengan:
• aktsaruhum hifzhan (yang memiliki hafalan terbanyak),
• afqahuhum li kitabillah (yang paling faqih terhadap kitab Allah),
• aktsaru qira'atan (yang paling banyak membaca Al-Qur’an),
• atau atqanu wa ahfazhu lil-Qur'an (yang lebih menguasai dan hafal Al-Qur'an).
Sebuah hadits lain yang bersumber dari 'Amr bin Salamah menggunakan kalimat“aktsaruhum qur'anan” (yang terbanyak hafalan/bacaan Qur'annya), sebagaimana disitir oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juz 2 hal. 186.
Dengan demikian, kata qira'ah lebih menekankan aspek intelektual dari membaca. Dalam bahasa Inggris, terjemahan yang tepat adalah "to read"(membaca, yakni memahami konten atau isi bacaan).
Arti asal kata ini menunjukkan bahwa kata iqra' yang diterjemahkan dengan "bacalah!", tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai obyek baca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus, Anda dapat menemukan beraneka ragam arti kata tersebut, antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya, yang kesemuanya bermuara pada arti "menghimpun". Selain itu, kata qira'ah, berikut bentuk-bentuk yang seakar dengannya, dalam Al-Qur'an dipakai untuk mengungkapkan aktifitas membaca yang umum, mencakup teks apa saja.
Dengan kata lain, kata ini mencirikan sebuah aktifitas intelektual yang terus-menerus, mendalam, dan intensif. Meskipun tetap bermakna membaca atau melafalkan huruf-huruf sehingga tercipta suatu makna, namun titik tekannya bukan pada membaca bersuara.
Fokus qira'ah adalah meraih makna atau pengertian dari apa yang dibaca tersebut. Jika dikaitkan dengan Al-Qur'an, yang mana nama kitab suci ini sendiri juga berasal dari kataqara-a (membaca), maka membaca disini harus disertai tadabbur, tafakkur, dan tadzakkur. Tidak disebut qira'ah jika hanya menekankan pelafalan lisan dan mengeraskan suara. Qira'ah adalah aktifitas yang sistematis, terstruktur, disengaja, sadar dan memiliki tujuan jelas.
Makna Tartil
Arti dasar tartil adalah sesuatu yang terpadu (ittisaq) dan tersistem(intizham) secara konsisten (istiqamah), yakni melepaskan kata-kata dari mulut secara baik, teratur, dan konsisten. Titik tekannya ada pada pengucapan secara lisan,atau pembacaan verbal dan bersuara. Dalam Bahasa Inggris, padanan tepatnya adalah "to recite" (mengucapkan, melafalkan dengan lisan). Tepatnya, slow recitation, membaca secara dengan bersuara secara perlahan-lahan.
Secara teknis, tartil berkaitan erat dengan penerapan kaidah-kaidah ilmu tajwid. Dalam kitab At-Tibyan fi Adabi Hamalatil-Qur'an karya Imam An-Nawawi, hal. 45-46 disebutkan bahwa para ulama' telah bersepakat tentang dianjurkannya tartil (membaca perlahan-lahan sesuai kaidah tajwid) karena Allah berfirman,"wa rattilil Qur'aana tartiila".
Ada sebuah hadits bersumber dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha bahwa beliau menjelaskan sifat bacaan Al-Qur'an Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yakni qira'ah muffassirah (bacaan disertai menafsirkan), harfan harfan (huruf demi huruf). (Hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. Menurut At-Tirmidzi, hadits ini hasan-shahih).
Para ulama' menyatakan, bahwa tartil dianjurkan untuk proses tadabbur. Mereka juga mengatakan bahwa tartil sangat dianjurkan terutama bagi orang-orang non-Arab ('ajam), yang tidak memahami maknanya, karena hal lebih mendekatkan kepada sikap pengagungan serta penghormatan terhadap Al-Qur'an, serta lebih kuat pengaruhnya ke hati.
Oleh karenanya, dalam surat Al-Muzzammil, tartil adalah membaca Al-Qur'an secara bersuara, perlahan dan dengan menerapkan hukum-hukum bacaan secara tepat. Secara khusus, aktifitas tartil ini dilakukan dalam shalat dan di malam hari, yakni qiyamul-lail. Dari sini, diharapkan lahir kesan ke dalam jiwa, sebagaimana dijelaskan dalam rangkaian ayat-ayat Al-Muzzammil itu sendiri.
Makna Tilawah
Makna tilawah awalnya adalah mengikuti (tabi’a atau ittaba’a) secara langsung dengan tanpa pemisah, yang secara khusus berarti mengikuti kitab-kitab Allah, baik dengan cara qira’ah (intelektual) atau menjalankan apa yang terkandung di dalamnya (ittiba'). Mengikuti ini bisa secara fisik dan bisa juga secara hukum.
Singkat kata, tilawah dapat diartikan sebagai membaca yang bersifat spiritual atau aktifitas membaca yang diikuti komitmen dan kehendak untuk mengikuti apa yang dibaca dengan disertai sikap ketaatan dan pengagungan. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an kata tilawahlebih sering digunakan daripada kata qira’ah dalam konteks tugas para rasul ‘alaihimussalam.
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitabnya Majalis Syahri Ramadlan menguraikan cakupan makna tilawah ke dalam dua macam :
1 – Tilawah Hukmiyah, yaitu membenarkan segala informasi Al Qur’an danmenerapkan segala ketetapan hukumnya dengan cara menunaikanperintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.
2 – Tilawah Lafdziyah, yaitu membacanya. Inilah yang keutamaannya diterangkan oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dalam hadits Bukhari: خَيرُكُم مَنْ تعَلَّمَ القُرآنَ وعَلَّمَه ; (Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan yang mengajarkannya).
Dari sini dengan jelas kita dapat melihat bahwa kata tilawah ini mengungkapkan aspek praktis dari 'membaca', yakni sebuah tindakan yang terpadu, baik secara verbal, intelektual maupun fisik dalam mengikuti serta mengamalkan isi Kitabullah. Kata ini mengisyaratkan bahwa membaca Al-Qur'an itu bukan hanya sekedar melafalkan huruf-hurufnya secara lisan saja atau menyerap dan menganalisa informasi di dalamnya sebagai wacana intelektual yang bersifat kognitif belaka, akan tetapi juga harus diikuti dengan aplikasi secara nyata dengan iman dan amal.
Kata Tilawah dalam Al-Qur'an
Kata tilawah dengan berbagai derivasi dan variasi maknanya dalam Al-Qur’an terulang/disebutkan sebanyak 63 kali. Kata tilawah ini dalam beberapa kitab seperti dalamAl-Mishbah Al-Munir fi Gharib Asy-Syarh Al-Kabir, Al-Shahib Ibn ‘Ibad dalam Al-Muhith fi Al-Lughah, Ibnu Mandhur dalam Lisanul-‘Arab,dan dalam Mukhtar Al-Shihah, secara leksikal/harfiah mengandung makna "bukan sekedar” membaca (qira’ah).
Kalau kita cermati kata yatluu atau tilawah dalam Al-Qur’an, maka obyek bacaannya adalah ayat-ayat atau kitab suci Al-Qur’an yang pasti terjamin kebenarannya. Penasaran? Coba saja search kata yatluu dalam Al-Qur’an pasti akan Anda temukan maf’ul bih (obyek)-nya adalah “ayat-ayat Allah”. Contohnya, silakan perhatikan ayat-ayat berikut ini:
• Al-Baqarah (2) : 129
رَبَّنَا وَابْعَثْفِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka,yang akanmembacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu…”
• Al-Baqarah (2) ayat 151
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni’mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu…”
• Al-’Imran (3) : 164
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْبَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakankepada mereka ayat-ayat-Nya (Allah)…”
• Al-Jumu’ah (62) : 2
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَرَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yangmembacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka…”
• Ath-Thalaq (65) : 11
رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِاللَّهِ مُبَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنَالظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ
“(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allahyangmenerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya.a Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.”
• Al-Bayyinah (98) : 2
رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًامُطَهَّرَةً
"(Yaitu) seorang Rasul dari Allah (yaitu Muhammad) yang membacakanl embaran-lembaran yang disucikan (Al-Quran)."
dan ayat-ayat lainnya yang semisal…
Jadi, implikasi aktifitas tilawah adalah mengikuti dan menerapkan apa yang terkandung dalam teks ayat yang dibaca adalah untuk dijadikan sebagai tuntunan, kode etik atau jalan hidup (way of life). Jika saja Allah mengizinkan manusia untuk mengikuti dan menerapkan jalan hidup dari selain Al-Qur’an, maka obyek kata tilawah dalam Al-Qur'an bukan hanya ayat-ayat Allah saja akan tetapi bisa bermacam-macam. Namun ternyata tidak demikian. Faktanya, justru hanya kata qira'ah yang di dalamAl-Qur'an dipakai untuk obyek baca yang beragam, bukan hanya ayat-ayat Al-Qur’an saja.
Kesimpulannya, bahwa qira'ah adalah proses intelektual yang bisa dilakukan dengan mempergunakan beragam sumber bacaan, baik yang berasal dari Allah maupun selain-Nya. Namun, untuk tartil dan tilawah tidak demikian. Hanya Al-Qur'an sajalah yang layak mendapat perlakuan spesial itu.
Metode Membaca Al-Qur'an
Sederhananya, kita tetap bisa menerjemahkan ketiga kosakata di atas dengan "membaca", sebagaimana yang biasa digunakan dalam bahasa Arab. Akan tetapi, dalam prakteknya, harus ada penekanan dan fokus yang jelas.Tujuannya, agar kita tidak terjebak pada salah satu aspek membaca kemudian merasa cukup.
Adapun dalam membaca Al-Qur’an kita tidak bisa lepas dari ketiga cara baca tersebut. Masing-masing merupakan metode membaca Al-Qur’an yang berbeda, namun memiliki korelasi satu sama lain, sehingga tidak bisa dilepaskan atau dipergunakan secara parsial tanpa melibatkan lainnya.
Ketiga macam metode membaca Al-Qur’an ini, yakni qira’ah, tartil, dan tilawah, masing-masing memiliki fungsi yang khas. Fungsi-fungsi tersebut harus diseimbangkan secara proporsional agar pengaruh ayat-ayat Al-Qur’an betul-betul meresap dan membekas dalam perilaku serta karakter seorang muslim.
Boleh jadi, sebagian orang telah berulang-ulang menyelesaikan tartil, namun ia melupakan qira'ah dan tilawah. Atau hanya mengintensifkan qira'ah, tanpa disertai tilawah dan tartil. Pun, bisa jadi ada yang telah menjalankan tilawah, namun kurang dalam aktifitas qira'ah dan tartil dalam kesehariannya.
Dengan kata lain, dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, sebaiknya kita melibatkan ketiga metode tersebut sekaligus, yaitu: qira’ah, tartil, dan tilawah.
Akhiru kalam, tetap semangat, tetap bergairah, dan tetap istiqomah dalam membumikan Al Quran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar