Belum lama ini Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo berkunjung ke Jepang (23/3/2015) dan negeri Tiongkok (25/3/2015). Bagi orang awam, akan dilihat sebagai kunjungan biasa. Faktanya, kunjungan tersebut memiliki kepentingan bagi masa depan bangsa. Jokowi merencanakan peran strategis Indonesia dalam perdagangan dunia.
Sementara yang muncul dipermukaan melalui pemberitaan media yakni upaya Jokowi mencampuri soal sengketa laut China Selatan. Padahal presiden hanya menegaskan bahwa batasan laut tidak sampai ke Pulau Natuna yang notabene masih masuk Indonesia. Selain itu Indonesia justru ingin menjadi mediator negara-negara yang mengklaim wilayah di China Selatan. Bahkan DPR malah melarang Jokowi turut campur dalam persoalan tersebut.
Disisi lain, Indonesia mengajukan tawaran baru soal investasi. Hal ini sebagai upaya menguatkan bargaining atas apa yang selama ini terjadi. Perlu diketahui Selat Malaka selama ini dipakai jalur pengiriman minyak dari Asia Tengah. Alternatif lainnya bagi Tiongkok dan Jepang yakni memakai Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makasar. Artinya negara timur tengah, Jepang dan Tiongkok memanfaatkan 3 selat di negara ini. Apa dampaknya? Justru selama ini kita dirugikan dengan hanya diberi hibah, bantuan kemanusiaan, pinjaman lunak dan sejenisnya. Tidak ada dampak signifikan bagi pembangunan Indonesia.
Bayangkan saja, sebagai ilustrasi perhari selat malaka dilalui kapal pengirim minyak dan gas sebanyak 15,2 juta barel dari timur tengah. Padahal negara-negara timur tengah mengirim pasokan minyak dan gas mencapai 17 juta barel. Hal itu menunjukkan Jepang, Tiongkok dan negara produsen pantas “berterima kasih” pada Indonesia. Bisa dibayangkan bila jalur itu ditutup dengan alasan keamanan, digunakan untuk jalur transportasi dalam negeri serta alasan lainnya.
Kenapa presiden sebelumnya tidak berani atau tidak mau memanfaatkan Selat Malaka sebagai bargaining? Karena kita juga bergantung pangan dengan mereka maupun negara lain. Sehingga bila diboikot, rakyat kelaparan. Inilah korelasi kampanye presiden tentang target kemandirian pangan harus segera diraih. TNI sudah dilibatkan dalam rangka swasembada beras yang di tahun 2018 harus terpenuhi.
Maka dari itu, presiden mengajukan komitmen baru dalam pembangunan infratruktur maupun lainnya. Diperkirakan dalam 5 tahun mendatang, pembangunan infrastruktur ekonomi Indonesia butuh Rp 7.000 triliun. Secara matematis, pengalihan subsidi hanya akan mampu mensupport 40 persennya saja. Inilah yang akan “ditagihkan” ke Tiongkok, Jepang dan negara-negara yang menggunakan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan mereka.
Berdasarkan pembicaraan yang dilakukan di Jepang, Indonesia mendapatkan 5,6 miliar dollar AS. Toyota dan Suzuki yang termasuk besar investasinya yakni 1,6 miliar dollar AS dan 1 miliar dollar AS. Hanya bedanya bila pabrikan yang dibangun sebelumnya untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, kini presiden menekankan produksi tersebut untuk kendaraan ekspor. Agar Indonesia tidak hanya mendapat manfaat tenaga kerja saja tetapi juga pajak ekspor barang.
Jokowi meminta Mitshubishi di Kerawang pada Tahun 2017 mampu memproduksi 60.000 mobil untuk pasar Asia Tenggara, Timur Tengah hingga ke Afrika.
Adapun dengan Tiongkok, Indonesia mencatat kesepakatan 68,4 miliar dollar AS. Indonesia dan Tiongkok memiliki kesamaan pandangan tentang Maritim Silk Road yang diusulkan Presiden Tiongkok, Xi Jinping serta Strategi Global Maritime Fulcrum yang diinisiasi Joko Widodo. Secara teknis, akan diperkuat strategi, komunikasi kebijakan, memajukan konektivitas maritime, investasi industri, dan konstruksi proyek besar. Termasuk didalamnya pembangunan pelabuhan, kereta api kecepatan tinggi, bandara dan zona khusus ekonomi pesisir juga sektor kapal bangunan.
Posisi Tiongkok sendiri tengah dalam dilemma pada pertarungan “perebutan” China selatan dengan negara-negara Asean. Sebab mereka didukung oleh Amerika Serikat dalam bentuk patrol laut. Amerika pun menggagas Asian Pivot. Beberapa pakar menduga, Indonesia lebih condong ke Tiongkok dengan argument bila bergabung dalam kelompok negara Asean lainnya tentu posisi Indonesia kurang strategis. Bergaining untuk menuju kemandirian tanpa intervensi serta swasembada pangan akan lebih sulit dicapai. Apalagi laut tidak bisa dimaknai sekedar jalur perdagangan namun juga sebagai keamanan negara.
Bahkan saat bertatap muka dengan Xin Jinping, presiden menyatakan perairan laut sedang proses pemasangan telemetri, tracking dan misi control bagi kapal yang melintasi laut Indonesia. Secara tidak langsung Jokowi menegaskan bahwa Indonesia berdaulat atas tanah dan lautnya sendiri. Sehingga bagi negara lain tidak bisa dan tidak dapat lagi berlaku seenaknya. Dan itu sudah terbukti dari beberapa kapal yang sudah ditenggelamkan. Padahal banyak negara kapal Tiongkok yang secara illegal wara wiri seenaknya di laut Indonesia.
Inilah saatnya mandiri
Inilah saatnya menegaskan
Inilah Indonesia
Milik rakyat Indonesia
Sumber: Beritaintrik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar