O
O
O
O
O
Dawam Rahardjo, pria Solo kelahiran
1942, sepanjang hidupnya telah melakoni banyak pekerjaan, mulai dari bankir,
peneliti, dosen, hingga penasihat Presiden Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie.
Ia kini seorang cendekiawan muslim yang sejak muda memiliki sikap liberal, pluralis, dan sekuler. “Saya muslim dan saya pluralis,” ujarnya. Tiga nilai yang ia percayai itu kemudian menjadi dasar keyakinannya membela kaum minoritas di Indonesia. Ahmadiyah adalah salah satu yang dibela Dawam, yang berujung pada pemecatannya sebagai anggota Muhammadiyah.
Konsistensi keberpihakan Dawam terhadap kelompok minoritas membuatnya berhak atas anugerah Yap Thiam Hien 2013. Beberapa jam sebelum penganugerahan yang diberikan di Jakarta, Kamis (30/1) malam, wartawan mewawancarinya.
Apa makna penghargaan Yap Thiam Hien
bagi Anda?
Saya itu di kalangan muslim
kontroversial. Jadi, kalau Anda membuka website, Facebook dan Twitter itu lebih
banyak serangan-serangan dari kalangan muslim terhadap saya karena saya
pluralis, sekuler, dan liberal. (Tapi) Memang itu ideologi saya. Saya
muslim dan saya pluralis.
Tapi, saya punya pengertian sendiri
mengenai trilogi (pluralisme, sekulerisme, dan liberalisme) itu. Kemudian ada
komentar di Facebook, Dawam makin tua makin liberal. Maksudnya, saya kira,
makin lama (saya) makin meninggalkan agama.
Padahal, saya tidak pernah menjauh dari agama, bahkan saya banyak menulis pemikiran-pemikiran Islam. Jadi, saya tidak meninggalkan atau menjauhi Islam atau menjauhi Tuhan atau menjauhi agama. Saya justru mendekat pada agama, cuma memang tidak hanya Islam, tapi juga saya bersimpati dengan agama-agama lain.
Kalau saya makin tua makin liberal itu (salah), saya ini sejak muda sudah liberal. Sejak saya SMP pergaulan saya di lingkungan sastrawan-sastrawan muda itu sudah plural. Dalam pergaulan yang plural bersama Ahmad Wahid dan Johan Effendi, saya sudah liberal, walaupun saat itu belum ada wacana pluralisme dan liberalisme.
Tidak ada wacana itu. (Wacana pluralisme dan liberalisme) Baru sekarang ini muncul setelah ada aksi-aksi kekerasan atas nama agama dan sebagainya. Baru saya memberikan opini atau banyak orang memberikan opini yang ditengarai sebagai liberalisme atau pluralisme.
Dalam konteks seperti itu, penghargaan bagi saya merupakan konfirmasi bahwa apa yang saya perjuangkan itu benar. Apa yang saya perjuangkan itu diakui kelompok atau institut yang memperjuangkan hak asasi manusia. Jadi, saya itu dibenarkan.
Tapi di kalangan Islam tertentu, penghargaan itu justru memberikan konfirmasi kepada mereka, ternyata benar Dawam itu seorang liberal, sekuler, dan pluralis. Walaupun demikian, dari kalangan Islam, khususnya golongan muda, yang mendukung saya itu banyak.
Baru saja saya mendapatkan telepon mengucapkan selamat (karena menerima penghargaan Yap Thian Hien) dari seorang tokoh muda Nahdlatul Ulama. Jadi, kalangan muslim pun, khususnya kalangan muda, itu mendukung saya. Jadi, barangkali penghargaan ini bersifat kontroversial.
Saat ini dibangun opini oleh segelintir orang di masyarakat, seolah sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme (trilogi) bertentangan dengan ajaran Islam. Apakah benar demikian?
Kalau ortodoksi, iya. Artinya, tiga trilogi itu diharamkan Majelis Ulama, tapi kalangan muda (Islam) mendukung (trilogi). Mereka, sesuai (dengan trilogi itu), termasuk lembaga ini (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) yang memperjuangkan trilogi itu.
Sama sekali tidak ada dalam ajaran Islam (menentang sekulerisme). Ada dukungan ayat-ayatnya (di Alquran). Misalnya, dalam surat Al-Hujuraat ayat 13. Jelas dikatakan dalam ayat itu, Tuhan menciptakan masyarakat berkelompok. Jadi, banyak identitas. Tapi, hendaknya mereka itu saling menghargai, saling mempelajari, memahami.
Itu namanya prinsip ta’aruf. Jadi ta’aruf itu pluralisme. Dalam Islam dikatakan, jalan menuju Tuhan itu tidak satu, tapi banyak jalan menuju Tuhan. Itu di dalam Alquran. Jadi, berarti liberal itu. Kebebasan. Dalam kenyataannya di dalam Islam banyak alirannya. Jadi, pada dasarnya (Islam) itu liberal dan pluralis.
Menurut Anda, apakah umat Islam di Indonesia banyak yang menentang trilogi?
Itu soal persepsi. Menurut hemat saya, sebagian besar umat Islam memang ortodoks. Tapi ada kecenderungan ke arah liberalisasi. Jadi, Majelis Ulama (yang mengharamkan trilogi) itu menggambarkan pandangan elite dan merupakan satu pandangan. Itu belum tentu cocok dengan realitas. Realitas (masyarakat Indonesia) itu plural.
Mayoritas umat Islam itu sebenarnya toleran. Itu sudah terjadi pada masa lalu, umat Islam toleran. Hanya baru-baru ini terjadi gejala-gejala tidak toleran. Tapi itu dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya politik dan ekonomi. Jadi, inilah yang mendistorsi sikap-sikap umat Islam. Tapi itu kelompok kecil yang ekstrem.
Islam pada umumnya berpikiran moderat dan itu diakui di seluruh dunia; Islam di Indonesia moderat. Paling tidak moderat di seluruh dunia Islam dibandingkan negara-negara Arab atau Asia Selatan dan lain-lain.
Jadi, segelintir orang dan kelompok yang selama ini mengaku hendak menegakkan syariat Islam dengan melakukan provokasi hingga kekerasan terhadap umat dari agama lain, tidak mencerminkan ajaran Islam?
Islam di Indonesia itu paling moderat. Hanya saja, sekarang diganggu faktor-faktor politik dan ekonomi. Jadi, berbagai macam tindakan kekerasan (yang mengatasnamakan agama pada saat ini) diprovokasi kelompok-kelompok tertentu yang militan. Mereka memengaruhi masyarakat. Masyarakat itu dihasut.
Jadi, pada umumnya masyarakat Islam di Indonesia toleran. Buktinya (intoleransi) hanya terjadi di beberapa daerah, seperti di Bekasi dan Bogor. Di tempat-tempat lain tidak ada. Damai. Di (tanah) Batak sendiri tidak ada. Di (wilayah) kalangan masyarakat Kristen ada masjid, di kalangan Islam seperti di Padang banyak juga gereja.
Padahal umat Islam di Padang itu sangat kuat, tapi Kristen dan pembangunan gereja di Sumatera Barat tidak ada hambatan. Paling tidak, saya tidak pernah mendengar ada penolakan pembangunan gereja di Sumatera Barat.
Anda mengatakan, toleransi di Indonesia dipengaruhi dan diganggu faktor-faktor politik dan ekonomi. Seperti apa penjelasannya?
Seperti misalnya saja soal pengaruh Amerika Serikat. Ada konflik kebijakan antara negara-negara Islam dengan Blok Barat. Ada persaingan. Jadi, Saudi Arabia berusaha memengaruhi Kementerian Agama (di Indonesia). Misalnya saja soal Ahmadiyah.
Soal Ahmadiyah itu sebenarnya persoalan politik. Jadi, ada persaingan antara Kekhalifahan Saudi Arabia dengan Kekhalifahan Ahmadiyah yang berpusat di London (Inggris). Ahmadiyah itu mirip Kristen. Jadi, bukan kekhalifahan politik. Kalau Saudi Arabia itu kekhalifahan politik.
OKI (Organisasi Kerjasama Islam) dikuasai Saudi Arabia. Di situ terkandung kepentingan ekonomi. Kalau Ahmadiyah tidak, karena di sana terkandung kerohaniaan, kerajaan Tuhan. Jadi, sebenarnya ada persaingan dominasi antara kekhalifahan global Ahmadiyah dengan Saudi Arabia.
Itu faktor politik internasional yang memengaruhi Indonesia. Ini merupakan hasil penelitian, tesis dari kawan saya, Fajar Nugroho. Penelitian itu (di antaranya) berdasarkan dokumen-dokumen dari Bakin (Badan Intelijen Indonesia). Dia melihat unsur-unsur politik luar negeri yang memengaruhi konflik di Indonesia.
Pada 2006, Pimpinan Pusat Muhammadiyah memecat Anda dari keanggotaan karena membela Ahmadiyah. Mengapa Anda membela Ahmadiyah?
Saya tetap Muhammadiyah. Jiwa saya tetap Muhammadiyah. Jadi, saya tidak bisa dikeluarkan dari Muhammadiyah. Itu hak saya. Kebebasan saya. Cuma dari segi organisasi saya dikeluarkan.
Ahmadiyah itu adalah kelompok Islam yang paling cinta damai. Paling peaceful, paling rukun. Ahmadiyah tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Eropa. Mereka, walau diserang tidak mau membalas. Ahmadiyah tidak pernah menentang pemerintah yang resmi. Di mana pun juga, di Eropa maupun di Indonesia, tidak mau menentang.
Juga dari segi teologi, Ahmadiyah itu rasional. Jadi, kalau kelompok itu rasional, mengerti paham mereka, itu tidak bisa disebut sesat. Sesat itu orang yang tidak tahu jalan, tersesat. Kalau dia tahu jalan tidak akan tersesat. Ahmadiyah itu jalan, jadi tidak bisa disebut sesat.
Demikian juga dalam Islam, tidak ada yang berhak menganggap orang itu sesat kecuali Tuhan. Manusia tidak berhak, termasuk orang Islam, termasuk Majelis Ulama Indonesia, tidak berhak menuduh satu aliran itu sesat. Aliran apa pun juga.
Memang, aliran sesat itu ada. Misalnya, aliran yang melanggar susila, ritus-ritusnya mengandung kesusilaan. Ada yang melakukan pembohongan publik, melakukan pengobatan-pengobatan berdasarkan agama, tidak ilmiah; melakukan tindak kekerasan, terorisme, bom bunuh diri. Itu sesat.
Jadi, yang sesat itu yang melanggar hukum, yang melakukan kekerasan, yang melakukan pembohongan publik, yang melanggar susila. Itu yang sesat. Apakah Ahmadiyah melanggar susila? Tidak. Apakah Ahmadiyah melakukan kekerasan, mempropagandakan pengobatan palsu? Tidak ada. Tidak ada sedikit pun ajaran Ahmadiyah yang sesat.
Saya menerima ajaran Ahmadiyah, tapi saya tidak percaya Mirza Ghulam Ahmad (pendiri gerakan keagamaan Ahmadiyah asal India) itu nabi. Tapi Ahmadiyah percaya. Kebebasan agama itu, walau menyembah batu, tidak bisa dicegah. Tidak bisa dicegah dan dipaksa. Hanya bisa diimbau melalui dakwah. Itu boleh. Tapi kalau melalui kekerasan tidak bisa, karena itu saya membela.
Situasi intoleransi di Indonesia dinilai semakin mencemaskan. Menurut Anda, mengapa pemerintah membiarkan atau mendiamkan?
Ada dua faktor. Faktor pertama adalah Kementerian Agama atau menteri agama takut terhadap mayoritas, tapi mayoritas yang semu bukan nyata. Mayoritas semu itu yang tergambar di Majelis Ulama. Kedua, Kementerian Agama itu takut terhadap Saudi Arabia karena banyak kepentingan.
Misalnya, (kepentingan) soal haji, bantuan ekonomi, bantuan bidang pendidikan. Kementerian Agama sangat takut dengan Saudi Arabia. Jadi, saya sebut Indonesia masih belum bebas. Politik luar negerinya itu belum bebas. Di satu sisi dipengaruhi, didominasi, dan didikte Amerika karena faktor ekonomi. Di sisi lain juga dipengaruhi Saudi Arabia yang juga karena kepentingan ekonomi berselubung agama.
Memang, saat ini terjadi pembiaran oleh negara terhadap kelompok-kelompok yang mengancam kebebasan beragama. Itu bertentangan dengan konstitusi Pasal 29 Ayat 2, negara mengakui kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan mereka.
Kehidupan beragama di Indonesia merosot. Dalam statistik yang dipantau lembaga internasional, terjadi kemerosotan. Jadi, ada korelasi negatif antara proses liberalisasi dan demokratisasi dengan proses pelanggaran hak asasi manusia.
Penghargaan (Negarawan Dunia) yang diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya untuk memancing supaya dia mengubah sikapnya. Ternyata tidak, sehingga banyak protes. Kehidupan beragama di Indonesia tidak menjadi lebih baik. Lebih baik pada masa Orde Baru.
Pada masa Orde Baru tidak ada konflik antaragama. Islam berkembang pesat, masjid dan gereja begitu banyak didirikan. Tidak ada penyerangan terhadap gereja, atau orang Kristen mendirikan gereja ditentang umat Islam pada masa Orde Baru. Adanya pada masa Reformasi.
Itu ciri khas negara otoritarian. Jadi, negara otoritarian atau Orde baru itu menekan agama sebagai ideologi politik, tapi diimbangi dengan kebebasan dalam hal ritual. Kalau soal ritual tidak, bahkan dibangkitkan, dipergunakan pemerintah untuk membendung komunisme.
Agama sebagai ideologi ditekan, tapi agama sebagai sebuah ibadah
dilindungi dan dikembangkan. Menurut saya, faktor-faktor internasional (politik
dan ekonomi) lebih dominan dalam memengaruhi kebebasan beragama di Indonesia.
Sumber: http://islamindonesia.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar