. Konsep Pemasaran Berbasis Gaya Hidup

Konsep Pemasaran Berbasis Gaya Hidup

Hakekat pemasaran adalah memenuhi kebutuhan konsumen, dan untuk memenuhi kebutuhan ini, mesti mengenal mereka dan apa yang menjadi kebutuhannya. Mengingat bahwa kebutuhan konsumen tidaklah tunggal maka perlu dipilah berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, sehingga terdapat kesamaan dalam batasan tertentu. Pengelompokan berdasarkan kemiripan faktor-faktor tadi dan tiap kelompok diperlakukan seolah-olah mereka merupakan kelompok yang identik ini dikenal sebagai segmentasi.

Setiap berbicara mengenai segmentasi, tak pernah terlewatkan data mengenai kelas sosial. Pokok pangkalnya adalah stratifikasi sosial, sebuah struktur sosial yang terdiri atas lapisan-lapisan : dari lapisan teratas sampai lapisan terbawah.

Setiap strata dalam batas tertentu, terdiri dari sejumlah individu yang memiliki sikap, pola tindakan, dan gaya hidup yang identik. Penduduk Jakarta misalnya, menurut peneliti dari Sosiologi UI, dapat distratifikasikan dalam lima strata, yaitu lapisan elite, lapisan menengah, lapisan peralihan, lapisan bawah, dan lapisan terendah. Lapisan Elite Kota (Jakarta) adalah lapisan teratas yang mempunyai penghasilan tinggi, generasi mudanya memiliki gaya hidup kosmopolit, mempunyai akses informasi dan politik yang sangat besar, serta mobilitas lintas negara yang tinggi. Di bawahnya terdapat lapisan menengah yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi walaupun secara finansial lebih rendah dari lapisan elit.

Konsep startifikasi sosial ini klop dengan acuan dalam segmentasi : konsumen digolong-golongkan, dipilah-pilah berdasarkan faktor tertentu sehingga dapat dianggap memiliki kemiripan.

Dalam perilaku konsumen secara samar orang membedakan pengertian kelas sosial dengan pengertian status sosial. Kata Max Weber kelas sosial mengacu kepada pendapatan atau daya beli, sementara status sosial lebih mengarah pada prinsip-prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup.



Dalam masyarakat kosmopolit yang pluralistik, status sosial ini dengan mudah dapat dimanipulasi. Dalam masyarakat metropolis macam Jakarta, tidak mudah melacak apakah status sosial sesuai dengan kelas sosialnya atau tidak. Seseorang mempunyai pilihan apakah dia ingin memproyeksikan diri sesuai dengan kelas sosialnya, lebih tinggi atau justru bersikap low profile. Kelas sosial yang sama memang menghasilkan gaya hidup tertentu, tetapi dalam rentang yang sangat lebar. Sehingga melahirkan variasi gaya hidup dalam kelas sosial yang sama.

Inilah alasan mengapa segmentasi demografis saja seringkali menyesatkan, sehingga harus diperdalam dengan segmentasi gaya hidup. Banyak definisi yang disodorkan mengenai gaya hidup. Gaya hidup adalah frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana dia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang diproyeksikannya. Untuk merefleksikan image inilah, dibutuhkan simbol-simbol status tertentu, yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Dalam pendekatan VALS 2 (Values & Life Style), stratifikasi secara vertikal dilengkapi dengan pembedaan secara horisontal berupa orientasi diri. Stratifikasi vertikal berdasarkan resources. Resources di sini bukanlah semata-mata materi, tetapi dalam arti yang luas mencakup sarana dan kapasitas psikologis, fisik, dan demografis. Perilaku konsumsi yang didorong oleh orientasi diri memiliki tiga kategori yaitu prinsip, status dan action.

Bagi orang yang orientasi dirinya bertumpu pada prinsip, dalam mengambil keputusan pembelian berdasarkan keyakinannya. Sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya karena ikut-ikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Bisa dikatakan tipe ini lebih rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status, keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang. Produk-produk branded menjadi pilihannya. Bagi yang gaya hidupnya bertumpu kepada action, keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko. Banyak merek rokok yang mengarah gaya hidup ini : penuh tantangan. Lihat saja Marlboro, Djarum Filter, dan Djie Sam Soe.
Selain itu terdapat pendekatan yang cukup populer dan bersifat ateoritik yang dikenal sebagai AIO (activity, interest, opinion). Pendekatan ini mengukur gaya hidup konsumen berdasarkan atas kegiatan, minat, dan pendapat, serta melalui sejumlah ciri demografis.

Berbagai produk dengan harga premium hampir dapat dipastikan bertujuan untuk memenuhi gaya hidup tertentu. Walaupun demikian motif pembeliannya bisa berbeda. Orang membeli Jaguar ada yang semata-mata untuk mengaktualisasikan diri, tetapi ada pula karena pertimbangan rasionalnya. Untuk yang terakhir ini, misalnya para pengacara. Mungkin beberapa diantaranya bukan sekedar untuk gengsi, tetapi sebagai justifikasi untuk menerapkan tarif yang mahal, sehingga klien merasa pantas membayar mahal. Acap kali pembeliannya juga berdasarkan gabungan berbagai motif.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya hidup berkaitan dengan bagaimana seseorang memanfaatkan resources yang dimilikinya untuk merefleksikan dirinya berdasarkan nilai, orientasi, minat, pendapat yang berkaitan dengan status sosialnya.

Tidak ada komentar:

.

.
.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...