Terhitung sejak
beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992, maka
kebangkitan ekonomi islam di Indonesia telah berumur sekitar 19 tahun.
Selama kurun waktu hampir dua dasawarsa itu, perkembangan ekonomi islam
di Indonesia terbilang luar biasa. Dapat dibuktikan dengan keberadaan
Bank Syariah, dimana pertumbuhan bank syariah di negara muslim terbesar
ini sangat maju terutama dari segi kuantitasnya. Namun demikian,
ternyata ada persoalan besar yang dihadapi oleh bank syariah ini yaitu
dari segi kualitasnya terutama menyangkut aspek kepatuhan terhadap
syariah (sharia compliance).
Apabila pertanyaan “Apakah ada bedanya antara bank syariah dengan bank konvensional” diajukan kepada umat Islam, maka jawaban dominan yang ditemui adalah “tidak ada bedanya alias sama saja”. Keadaan ini terjadi karena memang aktivitas atau praktek di lapangan yang dijalankan oleh sebagian besar bank syariah cenderung sesuai dan mengarahkan menuju jawaban itu. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan analisis kaitannya dengan permasalahan sharia compliance yang melanda Bank Syariah selama ini.
Apabila pertanyaan “Apakah ada bedanya antara bank syariah dengan bank konvensional” diajukan kepada umat Islam, maka jawaban dominan yang ditemui adalah “tidak ada bedanya alias sama saja”. Keadaan ini terjadi karena memang aktivitas atau praktek di lapangan yang dijalankan oleh sebagian besar bank syariah cenderung sesuai dan mengarahkan menuju jawaban itu. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan analisis kaitannya dengan permasalahan sharia compliance yang melanda Bank Syariah selama ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Bank Syariah sendiri merupakan usaha yang profit oriented, tetapi sesuai dengan prinsip Ekonomi Islam bahwa dalam berbisnis harus sesuai dengan panduan syariah dan memperhatikan kehidupan dunia serta akhirat secara seimbang. Perlu diingatkan mengenai salah satu perbedaan utama antara sistem Ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional adalah digantikannya instrumen bunga dengan sistem bagi hasil dan rugi (profit and loss sharing). Hal inilah yang tentunya juga mencirikan perbedaan Bank Syariah dengan lainnya.
Hal yang membuat gencarnya tuduhan bahwa Bank Syariah hanya berlabel syariah saja sedangkan isinya sama saja dengan konvensional adalah besarnya proporsi pembiayaan murabahah atau bai bitsaman ajil yang berbasis fixed margin, sekaligus penyimpangan yang dilakukan Bank Syariah dalam menerapkan akad jual beli ini. Data sampai saat ini menunjukkan bahwa proporsi akad murabahah menguasai sekitar 60-70% jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh Bank Syariah (baik Bank Syariah maupun BMT). Keadaan ini memang tidak hanya menjangkiti Bank Syariah di Indonesia tetapi juga di Malaysia dan negara-negara Timur Tengah.
Secara fiqh, tidak ada aturan yang melarang murabahah jika dilakukan sesuai dengan syarat dan rukunnya. Akan tetapi dalam prakteknya di Bank Syariah ada beberapa penyimpangan yang dilakukan. Misalnya pertama, penentuan margin/ mark up sepenuhnya dilakukan oleh Bank Syariah. Penentuan secara sepihak ini tidak diperbolehkan karena dalam akadnya harus ada transparansi dan keadilan antara penjual (Bank Syariah) dan pembeli (nasabah). Bank Syariah seharusnya secara fair menginformasikan tentang harga pokok barang dan variabel yang menentukan margin keuntungan untuk kemudian ditawarkan kepada nasabah. Proses keterbukaan dan tawar-menawar inilah yang akhirnya melahirkan sikap kerelaan kedua belah pihak yang itu berbeda dengan kredit konvensional.
Biasanya nasabah memang akan membandingkan tingkat margin dengan ekuivalen tingkat persen bunga pada kredit. Di sini pihak Bank Syariah harus berhati-hati dalam menerangkan permasalahan penting ini, jangan langsung menyebut ekuivalen rate tetapi harus diterangkan prosesnya terlebih dahulu. Sekali lagi proses penentuan margin di atas dapat membantu, karena margin yang ditawarkan Bank Syariah berasal dari biaya riil dan seharusnya tidak di atas tingkat bunga yang ditetapkan serta merta (tidak riil) oleh Bank konvensional. Nasabah tentunya akan memahami dan menyadari perbedaan antara akad yang syar’i dan akad yang tidak syar’i.
Kedua, kebanyakan Bank Syariah tidak menyerahkan barang kepada nasabah tetapi memberi uang kepada nasabah sebagai wakil untuk membeli barang yang dibutuhkan. Hal ini tentu menyimpang dari aturan fiqh, karena ada dua transaksi dalam satu akad yaitu wakalah dan murabahah. Di samping itu, dengan transaksi yang demikian dapat saja nasabah melakukan penyelewengan terhadap dana yang diberikan oleh Bank Syariah. Untuk mengatasi hal ini, diharapkan Bank Syariah mempunyai jaringan khusus terhadap distributor barang-barang kebutuhan nasabah atau malah mempunyai semacam usaha sendiri yang menyediakan barang kebutuhan untuk akad murabahah.
Proses ini memang harus sedikit dipaksakan karena sebagai media edukasi dan sosialisasi. Pegawai Bank Syariah harus mempunyai kompetensi dan kesabaran dalam menjalankan aspek kepatuhan syariah. Peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) juga sangat dibutuhkan untuk mengontrol kinerja Bank Syariah terutama yang berkaitan dengan sharia compĂlance. Selama ini permasalahan DPS terletak pada sisi profesionalisme, sehingga diharapkan pengurus atau manajemen Bank Syariah dapat memberikan insentif berupa gaji atau honor yang layak agar DPS dapat bekerja secara profesional dan optimal.
Mengenai dominannya pembiayaan murabahah juga harus segera diatasi oleh pihak Bank Syariah. Sesuai dengan prinsip Ekonomi Islam yang berdasarkan sistem bagi hasil maka sudah seharusnya produk Bank Syariah lebih banyak yang berakad Mudharabah atau Musyarakah. Bank Syariah lebih banyak memilih murabahah karena risikonya kecil dan memberikan keuntungan pasti (fixed return) Akad Mudharabah yang digembar-gemborkan oleh Bank Syariah sendiri jarang dilakukan dalam transaksi pembiayaan. Disamping mempunyai risiko tinggi dan biaya agency cost besar akibat munculnya asymetric information, pihak Bank Syariah juga beralasan nasabah tidak mau dan belum siap menggunakan sistem bagi hasil.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan tentang akad Mudharabah ini. Pertama, Jika kita menengok praktek mudharabah di lapangan, maka tidak akan ditemui akad mudharabah murni karena akadnya adalah mudharabah yang dimodifikasi dengan musyarakah karena modalnya berasal dari dua pihak, Bank Syariah dan nasabah. Walaupun dalam hal manajemen, Bank Syariah tidak ikut campur. Hal ini terjadi karena Bank Syariah hanya mau memberikan pembiayaan kepada usaha yang telah berjalan selama kurun waktu tertentu.
Kedua, pembagian return pembiayaan ternyata tidak berdasarkan sistem bagi hasil dan rugi (profit and loss sharing) tetapi menggunakan sistem bagi pendapatan (revenue sharing). Sistem ini dipilih karena Bank Syariah belum sepenuhnya berani berbagi risiko atau kerugian (loss /risk sharing) modal secara penuh. Terakhir, mengenai keuntungan yang harus diberikan nasabah ternyata telah dikira-kira (ditetapkan di muka) oleh Bank Syariah karena nasabah tidak mampu membuat laporan keuangan untuk menghitung labaatau rugi usahanya.
Berangkat dari realitas di atas, maka sudah seharusnya Bank Syariah lebih menekankan pada pembiayaan musyarakah karena lebih sesuai dengan keadaan ekonomi Indonesia saat ini. Musyarakah memang mengharuskan pihak Bank Syariah mengeluarkan biaya untuk terlibat dalam manajemen proyek-proyek yang dibiayainya, tetapi hal ini lebih realistis dan akan lebih menguntungkan dengan sistem bagi hasil dalam jangka panjang baik dari sisi profit maupun aspek syariah. Untuk pembagian return, sudah saatnya Bank Syariah tidak hanya cari aman saja, prinsip bagi hasil harus diterapkan secara adil. Hal ini bisa dimulai dengan membentuk komunitas pendampingan dengan sistem tanggung renteng yang telah dilakukan secara adat istiadat pada masyarakat Indonesia.
Bank Syariah mungkin dapat mencontoh programnya Grameen Bank di Bangladesh yang telah berhasil menjalankan sistem ini. Sesama anggota kelompok pembiayaan dapat saling membantu dan menanggung ketika salah satu anggotanya mengalami kesulitan usaha. Dengan cara ini, sistem bagi hasil dapat dilakukan secara murni dan tidak perlu menetapkan perkiraan keuntungan di muka, karena sudah ada saling kepercayaan antara Bank Syariah dengan nasabah maupun antar anggota kelompok sendiri. Yang perlu dibenahi adalah masalah penyakit moral yang selama ini menghinggapi masyarakat melalui peningkatan aspek spiritual dan teladan yang baik. Satu alasan lagi mengapa proporsi pembiayaan nasabah sangat mendominasi adalah untuk mengenal karakter dari nasabah sebelum dibiayai dengan akad bagi hasil. Alasan ini memang logis, tetapi jika terlalu lama dipakai maka akan menjadi bumerang bagi Bank Syariah. Nyatanya setelah beroperasi cukup lama, porsi pembiayaan murabahah tidak mengalami penurunan secara signifikan.
Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem bagi hasil optimal diterapkan di negara maju dan tidak optimal diterapkan di negara berkembang. Namun Bank Syariah harus melakukan gebrakan dan terobosan inovasi untuk membantah hasil penelitian itu. Walaupun sharia compliance Bank Syariah di Malaysia dan Timur Tengah - yang lebih dulu mengalami kebangkitan Ekonomi Islam - tidak lebih baik daripada Bank Syariah di Indonesia, tetapi Bank Syariah di Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia harus memberikan differentiation dan melakukan repositioning sebagai Lembaga Keuangan yang adil dan memberdayakan ekonomi umat. Jika tidak segera membenahi aspek kepatuhan syariahnya, maka tidak salah jika ada tuduhan bahwa Bank Syariah hanya berkedok syariah dan jualan agama belaka. Keadaan yang demikian akan menyebabkan usaha dakwah di bidang ekonomi ini menemui jalan buntu dan kerontokan pun tinggal menunggu waktu saja. Wallahu a’lam bisshawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar