Akhir pekan lalu, saya dan suami bertolak kembali ke Jakarta dari
Solo, melalui Bandara Adi Soemarmo. Saat tengah menunggu giliran masuk
pesawat di tengah antrian panjang, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara
sedikit gaduh di belakang. Spontan menoleh, beberapa orang pun melakukan
hal yang sama. Bahkan tak sedikit yang bergegas menghampiri ke arah
kerumunan. Sesosok pria dengan wajah sangat familiar berdiri di
tengah-tengah orang yang berebut untuk menyapa dan berfoto
bersama. Mengenakan celana jeans, kemeja putih bertangan panjang yang
digulung, menyandang ransel hitam di pundak, ia terlihat sedikit lelah,
namun secara umum terkesan santai, tenang dan ramah. Pria itu menebar
senyuman khasnya. Dia orang nomer satu di DKI, Joko Widodo yang tenar
dengan sapaan akrab Jokowi.
Saya ikut berdegup melihat kehadiran beliau, terutama melihat
antusiasme orang-orang di ruang tunggu keberangkatan. Seolah semua
merasa ingin mendekat dan menyapa. Sangat tergelitik untuk ikut
menghampiri beliau, namun saya pun separuh mengingatkan diri sendiri
sebenarnya, jangan sampai proses boarding terganggu. Terlebih,
kerumunan berjarak agak jauh dari titik kami berdiri dan terhalang
beberapa penumpang lain. Saya berusaha fokus pada antrian, meski
sesekali masih juga melihat ke belakang. ‘Dzziig!’ Ada rasa yang sedikit
asing, namun membuat saya tiba-tiba dijalari perasaan haru mendalam.
Semacam cubitan bercampur pelukan hangat.
Belum tuntas keheranan, berikutnya saya kembali menyaksikan sesuatu
yang langka di negeri ini: seorang pejabat publik terkemuka ikut di
dalam antrian masuk ke pesawat, untuk kemudian duduk di bangku belakang:
kelas ekonomi! Dalam penggambaran bak tokoh kartun, mungkin rahang saya
sudah terlepas jatuh ke lantai. Baru kali ini saya duduk lebih depan
daripada seorang pejabat.
Bukan tanpa alasan. Sudah terlalu sering saya menyaksikan bagaimana
pongahnya perangai para penguasa ketika menggunakan fasilitas publik.
Jangankan mereka, para asisten dan lingkaran terdekatnya juga kerap
bertingkah berlebihan, selalu minta dilayani, diistimewakan dan
dimaklumi setiap kali mereka hadir. Tidak banyak yang lebih memuakkan
dari hal tersebut.
Pria itu, datang seorang diri tanpa kawalan. Sikap tubuhnya begitu
alami, tenang dan apa adanya. Ia membaur dengan orang lain tanpa rasa
canggung atau kedekatan buatan ala pejabat pada umumnya; senyum lebar
saat tersorot kamera TV dan kembali basi saat off air. Sikap
yang saya yakini hanya bisa muncul lewat adanya keinginan tulus untuk
menghargai orang lain, dari hatinya. Tanpa upaya ‘lebay’ atau jumawa
berlebihan, saya melihat bagaimana ia disambut reaksi spontan dan sikap
hangat yang diperlihatkan oleh orang-orang di sekitar beliau.
Sangat
mungkin dada saya sesak karena melihat hal yang sangat bertolak belakang
dengan pandangan umum, namun merupakan sesuatu yang sangat saya
rindukan: pemimpin sebenarnya. Bukan semata pejabat; seorang yang tengah
menjabat posisi sebagai pimpinan. Turun dari pesawat, Pak Jokowi
mengikuti jalur umum; antri, turun tangga dan menaiki bus bandara yang
mengantarkan ke terminal kedatangan; seorang diri. Kepala saya langsung
berhitung mengkalkulasi taksiran biaya yang bisa dihemat antara
perjalanan beliau dibandingkan dengan para pejabat yang memerlukan
antek-antek dan tetek bengek yang lebih ke arah tiada manfaat itu.
Apa yang baru saja saya saksikan membuat sepanjang penerbangan dan
perjalanan saya pun menjadi super cengeng; bukan karena turbulensi atau
macet Jakarta. Tapi karena mendapati sesuatu yang sangat langka dan
berharga. Rasanya baru kali kemarin selama di udara saya memanjatkan doa
yang berbeda tema.
Dari dasar hati terdalam saya memohon agar Allah SWT melimpahkan
berkah dan kemudahan bagi para pemimpin yang benar-benar ikhlas dan
tulus bekerja untuk rakyat. Semoga mereka diberikan kesehatan lahir
batin, menghadapi masalah dan tantangan yang begitu banyak di negara
ini. Saya tidak berhasil mengingat, kapan terakhir kali saya berdoa hal
yang sama. Hhm.. sebegitu parahnya mungkin persepsi saya tentang
pemimpin/para pejabat pada umumnya, sehingga hati saya kurang tergerak
untuk mendoakan.
Suami saya pun tersenyum menyetujui, ketika saya mendeklarasikan bahwa perjalanan pulang kemarin merupakan ‘goceng paling berharga yang pernah dibayarkan’. Hehe.. kebetulan dengan memanfaatkan akumulasi mileage frequent flyer, masing-masing kami memang hanya membayar Rp. 5000,- untuk penerbangan tersebut.
Copas: http://adesmurf.wordpress.com
1 komentar:
Anda akan lebih heran lagi jika itu terjadi lagi tahun depan dan pada saat itu beliau sudah bukan lagi Gubernur DKI tetapi menjadi Presiden RI hasil Pemilihan Umum.
Perhatikan saja ramalan saya ini dan buktikan nanti pada tahun 2014
Posting Komentar