IRONI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh : Akbar Rewako*
Tujuan pendidikan sejatinya adalah untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan. Sistem pendidikan nasional pun mempunyai tujuan mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia Indonesia yang berkarakter serta bermoral baik. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, negara berkewajiban melaksanakan pendidikan yang adil dan berkualitas seperti amanat Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya dalam pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan." Artinya bahwa semua rakyat Indonesia harus memperoleh akses terhadap pendidikan tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama dan status sosial.
Namun, apa jadinya wajah pendidikan ketika dijadikan komoditas (barang dagangan) dan harganya sangat mahal? Fenomena anak bunuh diri karena tidak bisa membayar uang sekolah merupakan salah satu contoh realitas pendidikan. Subsidi pemerintah di sektor pendidikan ternyata belum mampu membantu anak-anak kurang mampu mengakses pendidikan. Buktinya, peserta didik masih dibebani biaya sekolah seperti seragam, buku, uang gedung dan biaya lainnya. Bahkan, untuk biaya seragam saja, orang tua harus “merogeh kocek” sebesar 1,8 juta rupiah. Orang tua siswa yang berasal dari golongan masyarakat miskin tentunya mengalami kesulitan membayar uang seragam sekolah. Supaya anaknya tetap bisa mengenyam pendidikan, orang tua murid terpaksa membeli seragam bekas di pasar “loakan”.
Mahalnya harga seragam di beberapa sekolah merupakan sebuah ironi di sistem pendidikan Indonesia. Institusi pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai tempat mencari ilmu dan wadah pencerdasan masyarakat tetapi berubah menjadi tempat jualan pakaian. Momentum tahun ajaran baru ternyata dijadikan pihak sekolah untuk mencari keuntungan. Pihak sekolah menjual seragam dengan harga lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga pakaian sekolah di pasar tradisional. Maraknya praktek jual-beli seragam sekolah dengan harga yang mahal merupakan salah bentuk komersialisasi pendidikan. Sekolah pada akhirnya menjadi tempat “berdagang” untuk mencari profit.
Selain persoalan biaya seragam yang mahal, paradigma yang masih berlaku di institusi pendidikan adalah sistem penyeragaman (uniform). Hampir seluruh sekolah mewajibkan murid-muridnya berpakaian seragam. Misalnya di Sekolah Dasar, seragam yang harus digunakan berwarna Putih-Merah, sepatu hitam, kaos kaki putih. Paradigma penyeragaman pakaian merubah wajah lembaga pendidikan menjadi tempat “fashion show.”
Padahal, kualitas pendidikan tidak ditentukan oleh seragam yang dipakai seorang murid tetapi kecakapan dan kepintaran yang dimiliki. Seragam bukan kebutuhan yang substansial tetapi yang terpenting adalah semua anak bisa sekolah meskipun pakaian mereka berwarna hitam, hijau, biru dan sebagainya. Penyeragaman pakaian akan membebani orang tua murid karena harus mencari dan membeli pakaian yang diwajibkan oleh pihak sekolah. Jika seorang murid tidak mampu berseragam sesuai yang ditentukan oleh pihak sekolah maka kesempatan untuk duduk dibangku sekolah akan hilang.
Pergeseran paradigma pendidikan sangat memprihatinkan. Pendidikan tidak ubahnya sebuah pakaian yang terpajang di mall-mall, hanya yang berduit yang bisa membeli. Seleksi masuk sekolah formal tidak lagi didasarkan pada kemampuan dan kualitas seseorang tetapi berdasarkan “rupiah.” Keadaan seperti ini membuat institusi pendidikan hanya bisa diakses dan dinikmati oleh orang yang berduit banyak sedangkan anak dari tukang becak, anak buruh, anak petani, dan anak dari golongan keluarga miskin hanya bisa menonton dan tentunya semakin bodoh. Keadaan seperti ini tidak ada bedanya dengan kondisi pendidikan pada zaman penjajahan dimana sekolah formal hanya bisa diakses oleh golongan bangsawan yang notabenenya mempunyai uang yang banyak. Padahal, jika mengacu lagi pada Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".
Sangat jelas bahwa negara mempunyai kewajiban untuk mengembangkan pendidikan dari segi pendanaan. Akan tetapi, pendidikan gratis hanya menjadi angan-angan dan harapan yang tidak akan tercapai. Jangankan gratis, alokasi anggaran pendidikan yang diamanatkan oleh UUD, pasal 31 ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” belum tercapai dan terwujud sampai sekarang. Subsidi pendidikan sebesar 20% terealisasi di beberapa daerah. Anggaran 20% pun tidak murni untuk fasilitas pendidikan tetapi juga sudah termasuk gaji guru dan pembiayaan lainnya sehingga dana yang bisa dinikmati oleh anak-anak peserta didik hanya sedikit. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga tidak bisa memberi solusi bagi persoalan pembiayaan di sektor pendidikan.
Apabila pemerintah serius menjalankan amanat Undang-Undang Dasar maka anak-anak bangsa bisa mengakses pendidikan. Pendidikan tanpa biaya (gratis) memberikan kesempatan setiap warga negara untuk bisa sekolah dan pada akhirnya bisa pintar sehingga dapat mengangkat derajat keluarga dan bangsa. Jika paragdigma pendidikan tidak dirubah menjadi lebih adil maka wajah pendidikan di Indonesia akan semakin suram.
* Penulis adalah anggota Keluarga Alumni Mahasiswa Gadjah Mada Yogyakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.
Sumber : Portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
PENDIDIKAN GRATIS DAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN
Oleh : M Firdaus
RENCANA Depdiknas untuk membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal; jalur pendidikan formal mandiri dan formal standar, menuai banyak protes. Yang menjadi keberatan khalayak, bukan saja itu dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, yang berasumsi bahwa manusia bodoh tidak punya hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas.
Alhasil, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya privatiasi pendidikan, di mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama sekali.
Nuansa "privatisasi" atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.
Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Dengan halus, pasal ini secara bertahap ingin menurunkan kadar "kewajiban" pemerintah menjadi "sunnah", dengan kata-kata "menjamin terselenggarakannya" pendidikan dari suatu "keharusan". Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".
Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".
Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".
KEMBALI kepada penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).
Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), ""Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat".
Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.
Bahkan, pemerintah secara gamblang mereposisi posisinya dari penanggung jawab tunggal pendidikan dasar gratis menjadi hanya "fasilitator". Lengkapnya terungkap dalam bab pertimbangan pada butir (b) di awal RUU BHP yang berbunyi, "bahwa penerapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator untuk memberdayakan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan". Dengan berlakunya RUU BHP, terkesan pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu.
Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.
Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.
Kemudian, pada sisi lain, pemerintah juga memberlakukan sistem "guru kontrak". Ke depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya di luar itu. Selain itu, kebijakan otonomi daerah juga menjadi alasan pemerintah untuk berbagi beban dalam pendanaan pendidikan. Walaupun dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang terjadi pengalihan kekuasaan dari pusat ke pemerintah daerah. Alhasil, pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu kini berada di persimpangan jalan, sebab kelangsungannya sebagian menjadi wewenang pemerintah daerah.
Apalagi dengan adanya RUU BHP, pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi penambahan pendapatan asli daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adanya RUU tersebut, nantinya semua satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan menengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti yang tertera dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.
Terakhir, dengan berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya tidak ada lagi sekolah dasar negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimiliki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain, lepas tangan dan berkonsentrasi mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak. Di sinilah hal penting sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 31, secara nyata dilakukan dengan sistematis oleh para penyusun UU dan PP, serta RUU di bawah UUD 1945.
Bila pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu, maka UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal itu tidak dilakukan, maka bagi yang tidak menjalankannya dianggap melanggar UUD 1945....
M Firdaus (Aktivis Jaringan Pendidikan untuk Keadilan)
Alhasil, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya privatiasi pendidikan, di mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama sekali.
Nuansa "privatisasi" atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.
Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Dengan halus, pasal ini secara bertahap ingin menurunkan kadar "kewajiban" pemerintah menjadi "sunnah", dengan kata-kata "menjamin terselenggarakannya" pendidikan dari suatu "keharusan". Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".
Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".
Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".
KEMBALI kepada penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).
Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), ""Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat".
Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.
Bahkan, pemerintah secara gamblang mereposisi posisinya dari penanggung jawab tunggal pendidikan dasar gratis menjadi hanya "fasilitator". Lengkapnya terungkap dalam bab pertimbangan pada butir (b) di awal RUU BHP yang berbunyi, "bahwa penerapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator untuk memberdayakan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan". Dengan berlakunya RUU BHP, terkesan pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu.
Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.
Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.
Kemudian, pada sisi lain, pemerintah juga memberlakukan sistem "guru kontrak". Ke depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya di luar itu. Selain itu, kebijakan otonomi daerah juga menjadi alasan pemerintah untuk berbagi beban dalam pendanaan pendidikan. Walaupun dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang terjadi pengalihan kekuasaan dari pusat ke pemerintah daerah. Alhasil, pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu kini berada di persimpangan jalan, sebab kelangsungannya sebagian menjadi wewenang pemerintah daerah.
Apalagi dengan adanya RUU BHP, pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi penambahan pendapatan asli daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adanya RUU tersebut, nantinya semua satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan menengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti yang tertera dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.
Terakhir, dengan berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya tidak ada lagi sekolah dasar negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimiliki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain, lepas tangan dan berkonsentrasi mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak. Di sinilah hal penting sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 31, secara nyata dilakukan dengan sistematis oleh para penyusun UU dan PP, serta RUU di bawah UUD 1945.
Bila pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu, maka UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal itu tidak dilakukan, maka bagi yang tidak menjalankannya dianggap melanggar UUD 1945....
M Firdaus (Aktivis Jaringan Pendidikan untuk Keadilan)
DOKTRINISASI PENDIDIKAN SELAMA 12 TAHUAN
Achmad Mauludi Sujono
Doktrinisasi pendidikan selama 12 tahun memang sangat mengebiri para Siswa-siswi tentang sikap kritisisme terhadap segala fenomena kerakyatan atau masalah mendasar bangsa mengenai kemiskinan atau yang paling kecil tentang ketidakadilan yang sering dialami Siswa-siswi. Hal inilah yang seharusnya dapat digeser menjadi paradigm berpikir kritis guna mewujudkan para Siswa-siswi yang lebih kritis, dinamis, dan konstruktif.
Guru yang seharusnya melatih siswa untuk berpikir secara kritis,d alam artian selalu mempertanyakan kebenaran dari ilmu yang dijelaskan guru, malah mencekoki murid dengan catatan-catatan dan tugas yang menumpuk. Praktek yang tumbuh subur di sekolah ini menunjukkan andil pendidikan sangat besar dalam menciptakan generasi siswa yang apatis dan hedonis.
Inilah kemirisan hidup yang tersisa dari para pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Hedonisme dan individualism mewarnai kehidupan sebagian besar para Siswa-siswi tersebut. Niat awal sebagian besar siswa tersebut pasti hanya untuk urusan akademis dan pergaulan permainan.
Pendidikan selama 12 tahun tidak pernah mengajarkan mereka untuk coba berpikir kritis menyikapi problem bangsa ini. Tidak pernah dikembangkan budaya kreatif dan inovatif untuk bekal trampil menghadapi perubahan dan perkembangan jaman. Mereka hanya diajarkan bagaimana menghapal rumus, menghafal, mencongak, mengerjakan LKS atau tugas-tugas tekstual, tapi jarang sekali diajarkan mengenai bagaimana harus berpikir kritis dalam menyerap pengetahuan yang diperoleh dari sumber belajar, entah guru, internet, buku bacaan, dan sumber belajar
lain.
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar