Awal digelar perhelatan akbar World Cup 2010 di Afrika Selatan, ingatan saya berbelok dari urusan menyimak sepak bola berubah menelaah sejarah hubungan persaudaraan dengan Indonesia yang telah terjalin berabad lamanya. Rasa ikut bangga bahwa sampai saat ini Afrika Selatan menjadi salah satu negara termaju di benua Afrika dengan telah berhasil mengurangi angka kemisikinan dari 42% di tahun 1994 menjadi ‘tinggal’ 23% di tahun 2003. Dan juga Afsel terbukti berhasil meyakinkan dunia untuk menjadi tuan rumah ajang World Cup 2010; di mana Indonesia masih bermimpi menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Nelson, kini 92 tahun mengaku dekat dengan Indonesia. Peraih Hadiah Nobel Perdamaian 1993 itu mengatakan tak melupakan bantuan Indonesia atas perjuangannya. Indonesia dulu memang mendukung upaya-upaya menghapus sistem apartheid di Afrika Selatan. Pemimpin besar Afrika Selatan itu ternyata sering sekali dalam foto menggunakan pakaian kebanggaan Indonesia, yaitu batik. Tampaknya Nelson Mandela, tokoh besar yang meruntuhkan pemerintahan dengan sistem apartheid tersebut mengapresiasikan kedekatan kultur kedua bangsa dengan membanggakan karya busana khas Indonesia yaitu Batik.
Bagaimana Persaudaraan Mulai Tertanam
Bermula sejak lebih dari tiga ratus tahun yang lalu. Tidak seorangpun yang dapat menyangkal bahwa bagian terselatan dari bumi Afrika dibuka dengan bantuan tenaga dan pikiran rakyat Indonesia. Di sini, di Semenanjung Harapan dan sekitarnya, beratus-ratus ribu manusia Indonesia dipekerjakan sebagai budak bangsa Belanda yang dengan nafsu penguasanya ingin membuka tanah koloni baru sebagai tempat persinggahan mereka dalam perjalanan mengeruk kekayaaan bumi nusantara.
Di tanah baru itu mereka secara tidak sengaja seorang cendekia Islam Indonesia yang turut diangkut ke Afrika bersama para budak. Syekh Yusuf alias Abidin Tadia Tjoessoep seorang bangsawan dari Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Semua orang akan langsung merasa tahu, sebab kiprahnya di dalam menentang pemerintahan VOC tidak perlu diperdebatkan lagi sehingga membuahkan gelar kepahlawanan nasional baginya tidak saja di Indonesia melainkan juga di Afrika Selatan.
Syekh Yusuf tiba di pengasingannya di Cape Town pada tahun 1693. Gubernur Jenderal Simon van der Stel yang menguasai Semenanjung Harapan pada waktu itu kemudian menempatkannya di suatu tempat terpencil di sekitar Pegunungan Hottentot dengan maksud agar beliau tidak dapat berkomunikasi dengan para budak dari Indonesia. Tempat itu begitu sepi dan jauh dari pusat keramaian, berupa padang pasir luas yang nyaris tak berpenghuni hingga kini. Perkampungan penduduk bertebaran saling berjauhan satu sama lain seakan-akan membentuk desa masing-masing. Namun semuanya menyatu dalam semangat Islam yang kental, dipersatukan oleh Masjid Nurul Latief.
Pada tanggal 16 Maret 2008 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan tatap muka dan dialog dengan perwakilan warga masyarakat Afrika Selatan keturunan Indonesia. Jumlahnya keseluruhannya tidak seberapa, hanya sekitar 800.000 orang. Tapi sikap dan semangat ke-Indonesia-annya masih cukup kental dan membanggakan. Di antaranya terdapat keluarga Premier (Gubernur) Propinsi Western Cape, Ebrahim Rasool yang mengaku berdarah Jawa. Saat berkunjung ke Cape Town, SBY sempat berkunjung ke makam Syeikh Yusuf, pejuang Islam legendaris asal Makassar, Sulawesi Selatan di dekat Masjid Nurul Latief. SBY mengutarakan gagasan untuk membangun perpustakaan agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Afsel keturunan Indonesia.
Pemerintah Indonesia menganugrahan gelar pahlawan nasional Syeh Yusuf di Afrika Selatan yang disampaikan oleh Presiden Thabo Mbeki pada tahun 2005, momen tersebut membangkitkan kebanggaan baik bagi rakyat Afsel ras Melayu maupun rakyat Indonesia. Tidak kurang dari mantan Presiden Megawati serta Wakil Presiden M. Jusuf Kalla turut memberikan penghormatan dengan mendirikan masjid dan memelihara petilasannya yang disebut Karamat Macassar Faure, di Zandvliet di mulut Erste Rivier dua puluh kilometer dari Cape Town pada 28 September 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar