. Catatan Sejarah Resolusi Jihad Santri

Catatan Sejarah Resolusi Jihad Santri


Tanggal 22 Oktober, warga Nahdlatul Ulama (NU) memperingati satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, yakni dikeluarkannya Resolusi Jihad. 68 tahun silam, NU mengeluarkan fatwa tentang kewajiban berperang fi sabilillah untuk mengusir tentara Belanda dan Sekutunya yang ingin kembali berkuasa setelah diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari meminta KH Wahab Chasbullah untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura untuk berkumpul di Surabaya, di kantor NU Jalan Bubutan VI/2. Ada pertanyaan keagamaan (masa’il diniyyah) yang penting dan perlu dijawab oleh para kiai terkait pertanyaan umat Islam dari berbagai daerah, apakah hukumnya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia?

Pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari atas nama HB (Pengurus Besar) NU mengumumkan sebuah fatwa atau seruan Jihad fi Sabilillah yang terkenal dengan istilah Resolusi Jihad. Isi seruan itu antara lain “bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum agama Islam, termasuk sebagai kewajiban bagi tiap 2 orang Islam.”

Segera setelah dikeluarkannya Resolusi Jihad, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura yang menjadi markas pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah pun bergerak. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata. Umat Islam bergerak ke Surabaya. Teriakan “Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar” mengiringi rentetan peristiwa penting, seperti pembajakan kereta api berisi senjata api milik tentara Inggris oleh pasukan Hizbullah Pos Surabaya Barat, penyobekan warna biru pada bendera merah-putih-biru yang berkibar di hotel Yamato oleh Cak Asy’ari, anak muda Ansor, pembunuhan Jenderal Mallaby oleh seorang santri Tebuireng hingga memuncak pada peperangan besar 10 November 1945.

Resolusi Jihad adalah produk dari pembahasan masalah-masalah keagamaan atau bahtsul masail diniyyah oleh NU. Film “Sang Kiai” yang diputar di bioskop-bioskop Indonesia beberapa waktu yang lalu memperlihatkan proses bahtsul masail sebelum dikeluarkannya fatwa Resolusi Jihad itu. Meski film itu tidak sepenuhnya bisa menggambarkan sebuah forum bahtsul masail, paling tidak para penonton tahu bahwa NU mempunyai satu prosedur dalam mengeluarkan fatwa, apalagi terkait persoalan yang sangat-sangat penting, soal jihad.

Bahtsul masail yang menghasilkan Resolusi Jihad merupakan kelanjutan dari bahtsul masail yang dilenggarakan dalam muktamar NU di Banjarmasin, tahun 1936. Hasil musyawarah para ulama memutuskan “bahwa Negara Republik Indonesia merupakan "negara Islam" karena pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam, walaupun pernah direbut oleh penjajah. Resolusi Jihad menegaskan  “Bahwa Indonesia adalah negeri Islam. Bahwa Oemmat Islam dimasa laloe telah tjoekoep menderita kedjahatan dan kezholiman kaoem pendjadjah…”. Bahwa jihad fi sabilillah dalam pengertian perang fisik untuk melawan pasukan Sekutu dan mempertahankan Negara Republik Indonesia adalah bagian dari tugas agama Islam.

Melaui Resolusi Jihad, NU “memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap usaha-usaha jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap fihak Belanda dan kaki – tangannya. supaja memerintahkan melandjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.”

Kini setelah 68 tahun berlalu apakah kewajiban jihad dalam pengertian berperang itu masih melekat pada umat Islam di Indonesia?

Beberapa gelintir kelompok Islam garis keras yang gemar berperang atau gemar melakukan provokasi kepada umat Islam untuk berperang, menyatakan kecewa terhadap NU saat ini karena mempunyai definisi lain tentang jihad. Beberapa aktifis NU menggunakan istilah jihad ini untuk program lain seperti, jihad melawan narkoba atau jihad melawan korupsi. “Pengertian jihad oleh NU saat ini menjadi melenceng dan tidak lagi bermakna perang.”  Dikatakan bahwa NU menjadi bagian dari seluruh dunia berdiri untuk melawan satu ibadah dalam Islam, yakni ibadah jihad, perang.

Memang, orang NU paham bahwa istilah jihad mempunyai beberapa makna. Dalam kitab Fathul Mu’in, salah satu kitab kuning yang dipelajari di pesantren-pesantren, dan seirng sekali dikutip oleh Ketua Umum NU KH Said Aqil Siroj, jihad mempunyai empat makna. Pertama adalah itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah swt di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, takbir serta bermacam-macam dzikir dan wirid.

Kedua adalah iqamatu syari’atillah, menjalankan ajaran Allah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan sebagainya. Ketiga adalah al-qital fi sabilillah, berpegang di jalan Allah. Dan keempat daf’u dlararin ma’shumin musliman kana au dzimmiyyan, yakni mencukupi kebutuhan warga baik muslim maupun non muslim.

Seruan jihad pada 68 tahun silam yang berarti perang dikeluarkan oleh NU dalam kondisi umat Islam sedang berhadapan dengan tentara musuh yang hendak kembali menguasai negeri Muslim Indonesia. Bahkan pada 29 Maret 1946 dalam Muktamar NU di Purwokerto, NU menjelaskan lebih rinci pelaksanaan jihad: “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe `ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap2 orang Islam, laki2, perempoean, anak2, bersendjata atau tidak (bagi orang jang berada dalam djarak lingkaran 94 Km. Dari tempat masoek kedoedoekan moesoeh)”. Dalam bahtsul masail, jarak 94 KM sehingga wajib berperang itu merupakan hasil dari proses qiyas NU atau ilhaqul masail binadhairiha yang dikaitkan dengan jarak tempuh seorang musafir diperbolehkannya menjama'-qashar shalat.

Namun jihad dalam pengertian perang itu tidak menemukan konteknya saat ini. Padaha al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa’adaman. Hukum itu diterapkan sesuai konteksnya. Saat ini, tidak ada tentara musuh yang harus dihadapi dengan moncong senjata, sehingga jihad lebih tepat diartikan yang keempat yakni daf’u dlararin ma’shumin, bukan memaksakan definisi jihad yang ketiga dengan merekayasa kondisi seakan-akan umat Islam di Indonesia sedang berperang dengan orang kafir atau sedang dihadapkan dengan musuh sehingga perlu melakukan perang atau latihan perang, bahkan sampai menghalalkan aksi bom bunuh diri. Tidak.

Jihad dalam pengertian daf’u dlararin adalah mencurahkan perhatian secara serius pada bidang sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, pertanian dan lain-lain yang menjadi problem kehidupan sehari-hari warga, masyarakat dan bangsa. Jihad dapat diwujudkan dalam satu peran politik tingkat tinggi (siyasah aliyah samiyah) seperti itu –memakai istilah Rais Aam NU KH Sahal Mahfudh, termasuk aktif dalam membenahi karut-marut sistem ketatanegaraan, memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela warga negara dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun.

Adapun peringatan Resolusi Jihad 22 Oktober oleh NU barangkali adalah sebuah penyataan bahwa NU menjadi bagian penting dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Dan sebagai pendiri negara maka NU ikut bertanggungjawab dan tidak bisa tinggal diam atas apa yang sedang menimpa negara ini. 

Tidak ada komentar:

.

.
.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...