TULISAN ini dilatari
tiga hal. Pertama, menyikapi bursa kerja fair yang rutin diadakan
diseluruh provinsi di Indonesia. Kedua, Kurikulum pendidikan kita yang
lebih mengarahkan siswa untuk condong menjadi orang gajian. Ketiga,
keinginan manusia yang sangat normatif yaitu ingin menjalani hidup
dengan berkecukupan.
Dari akar masalah itu, saya banyak
mendengarkan para orang tua yang berkata seperti ini: "Dibanding
mewariskan harta saya lebih cenderung mewariskan ilmu pada anak saya
karena bila dititipkan harta pasti habis. Tapi bila dititipkan ilmu
mereka akan bisa hidup makmur, nyaman dan mandiri."
Benarkah jika
anak dititipkan ilmu dengan sekolah setinggi tingginya dapat hidup
makmur? "Paradigma usang" seperti itu, penulis dengar dari mayoritas
orang tua mulai dari orang tua biasa hingga yang berpendidikan tinggi.
Paradigma yang melahirkan statemen bahwa pendidikan dapat membuat hidup
berkecukupan memang tidak salah. Banyak sarjana (apalagi sarjana
kedokteran) yang memiliki kehidupan yang mapan. Tapi tak sedikit juga
sarjana hidup sederhana saja. Bahkan menganggur.
Sebenarnya yang
saya sayangkan dengan statemen tersebut adalah "Pendidikan" dimaknai
secara sempit oleh masyarakat kita dengan lebih mengartikan menempuh
pendidikan formal mulai dari SD hingga Sarjana. Padahal bukan itu,
justru "pendidikan finansial di dunia nyatalah", bukan di sekolah, yang
akan menyebabkan seseorang sanggup bertahan dari badai kesulitan ekonomi
yang dapat menerpa kapan saja.
Pakar ilmu finansial Robert T
Kyosaki mengarang buku berjudul, "If you want to be rich, don't go to
scool" (Jika anda ingin kaya, jangan pergi ke sekolah). Seseorang walau
dengan gelar sarjana sekalipun juga akan terkapar jika dihantam badai
kesulitan ekonomi sebagai "orang gajian" di instansi tempat ia bekerja.
Karena mentalnya adalah mental buruh, bukan mental pengusaha yang tahan
banting.
Ingin kaya? bukan sekolah tempatnya. Tapi di dunia
bisnislah yang akan menempa seseorang untuk menjadi seorang pengusaha
tangguh dan tahan banting. Namun yang sangat disayangkan yang terjadi
ditengah tengah masyarakat adalah banyak UKM yang dibantu baik oleh NGO
asing ataupun lembaga lain atau pemerintah, di saat usahanya mandeg dan
dapat kesulitan merekapun dengan tangkas membuat “daftar alasan” yang
membuat mereka kalah dalam bersaing.
Memutuskan berhenti berjuang
menjadi entrepreneur dan lupa mengoreksi kesalahan diri untuk selalu
bertumbuh. Hanya yang mampu mengoreksi diri dan selalu belajarlah - yang
akhirnya mampu bertahan karena selalu berlatih dan kian hari kian tahan
banting dan mampu meningkatkan daya saing produknya. Virus entrepreneur
bukanlah sebuah virus instan karena ia harus disuntikkan pada generasi
muda melalui perubahan kurikulum pendidikan disekolah dan sejak dari
“sekolah pertama” yang dikenal anak yaitu lingkungan rumahnya. Settingan
mental anak seperti ini, Ibarat si anak diajari memanjat pohon kelapa
maka ketinggian pohon pepaya pasti terlewati. Tapi jika si anak diajari
memanjat pohon pepaya jangan harap bisa menyamai tinggi pohon Kelapa.
Artinya, jika anak disetting jadi pengusaha, serendah rendahnya pasti
mampu jadi orang gajian. Tapi jika anak disetting jadi orang gajian, ia
tak akan punya nyali jadi pengusaha.
Kepentingan Rezim Berkuasa
Dahulu, rezim berkuasa mempersulit warga menjadi entrepreneur dengan
cara monopoli, regulasi, dan birokrasi yang berbelit-belit. Aroma KKN
sangat kental. Cabang bisnis utama “haram” hukumnya untuk dapat dimasuki
oleh masyarakat. Kesulitan memulai bisnis membuat calon pengusaha di
masa itu mundur teratur. Ini juga merupakan salah satu pemicu yang
melatari didirikan HIPMI tanggal 10 Juni 1972 yakni untuk mendorong
masyarakat agar jadi pengusaha. Kurikulum pendidikan juga "di-setting"
oleh Rezim untuk mencetak warganya menjadi pegawai saja.
Langkah yang tepat saat ini adalah mengubah kurikulum pendidikan agar
memacu siswa menjadi seorang entrepreneur sejati yang tangguh. Hingga
saat ini di sekolahan juga masih banyak pola pikir kuno berseliweran.
Ada oknum guru berkata "Para murid harus rajin belajar, raih rangking
satu, supaya setelah tamat nanti bisa bekerja di BUMN strategis dan
dapat gaji tinggi"
Lalu setelah tamat sekolah, anak didik
melamar kerja untuk jadi orang gajian alias buruh. Khusus bagi mereka
yang memiliki titel jika diterima mereka diberikan seragam buruh yang
agak berbeda seperti dasi yang terlihat sedikit "keren" padahal tetap
saja namanya buruh.
Yang pasti orang yang menerima gaji tidak akan pernah lebih kaya daripada orang yang telah memberinya gaji.
Merubah Paradigma, Mengubah Kultur,
Merubah
paradigma "seolah-olah" memaksakan orang untuk mengubah agama yang
diyakininya benar. Bisa dibayangkan akan terjadi pro dan kontra yang
cukup menghebohkan. Karenanya berharap mengubah kurikulum pendidikan
saja akan mustahil karena kurikulum pendidikan disusun oleh narasumber
ahli yang masih memiliki paradigma lama. Mungkin narasumber ahli itu
adalah seorang yang bergelar Profesor atau Doktor. Menyalahkan sang
Profesor atau Doktor berpotensi untuk dicap kurang waras. (Profesor kok
dilawan…..)
Dalam "menyuntikkan" virus entrepreneur ini, Orang
tua harus berani memprovokasi anaknya dengan kata-kata: "Nak.... Ayah
sudah terlanjur jadi orang gajian. Ayah adalah korban Rezim zaman dulu.
Jadi, jika kamu besar nanti jangan mau jadi orang gajian seperti ayah.
Jadilah pengusaha, sekalipun pengusaha tahu - tempe namun pastikan UKM
yang kamu dirikan itu akan selalu bertumbuh, keraslah pada dirimu
sendiri untuk berdisiplin dan bangun integritas dirimu karena integritas
diri itu sangat fatal apalagi di mata perbankan.
Semua Perbankan
menyukai pengusaha seperti ini. Tirulah Bob Sadino, hanya dari modal
awal lima butir telur hingga kemudian jadi besar karena berdisiplin
keras, bandel, dan tahan banting. Jangan sekali kali kamu
mengemis-ngemis kerja pada pemerintah atau minta kerja pada perusahaan
orang karena mengemis kerja adalah ciri-ciri mental seorang pecundang
dan pengecut. Ingat !!! ayah mengajarimu jadi seorang yang pemenang,
bukan pecundang. Jika kamu tidak meraih ranking satu dikelas, janganlah
bersedih karena ranking dikelas itu hanya lelucon, bahan tertawaan bagi
para entrepreneur sejati. Justru yang harus kamu lakukan adalah mencatat
nama teman-teman pintarmu yang rangking satu tadi.
Kamu harus mampu
memprovokasi teman temanmu itu jadi dokter, ahli hukum, ahli konstruksi
dll. Setelah dia masuk dalam perangkap dan mengemis minta kerja, maka
jadikan dia pekerja professional di jaringan kerajaan bisnis yang kamu
rintis nanti. Kalo dia tidak mampu mencapai target, PECAT DIA karena
untuk selalu bertumbuh dan menjadi besar kamu harus professional. Bisnis
adalah bisnis - teman adalah teman. Jangan dicampur adukkan….”
Inilah pesan yang disampaikan para orang tua yang memiliki pola pikir
radikal positif dalam memprovokasi anak-anaknya. Anak adalah kertas
putih, tergantung kita mau membuatnya seperti apa. Kalau kita
mencetaknya jadi orang gajian maka jadilah ia orang gajian. Dan jangan
salahkan kalau banyak orang tua setelah pensiun beralih profesi jadi
baby sitter, jagain cucu karena kedua orang tua si bayi pergi kerja.
Jangan salahkan anak, jika ketika mereka berkeluarga, tapi masih juga
sering "nanduk" orang tua ketika mereka tak bisa bayar kontrakan rumah
(ndak usah merasa tertampar jika anda selaku orang tua sedang
mengalaminya.)
Inilah resiko anak yang dari kecilnya sudah
dicetak jadi orang gajian. Berakibat mental pengusaha si anak tak pernah
terasah. Sekali kalah dalam persaingan dan usahanya harus tutup, mental
aslinya selaku buruh kembali muncul. Mana mungkin bisa menang dalam
persaingan usaha kalau tidak konsisten dan tidak punya keinginan kuat
untuk bersaing. Pendidikan mental sedari dini sangatlah fatal. Janganlah
kita berpikir bahwa pendidikan bisnis ini bisa dilalui dalam 2 – 3
tahun. Ingat !!! sekolah bisnis di dunia nyata itu belum ada lembaganya
di dunia ini. Sekolah bisnis itu ada di kehidupan yang mereka jalani
saat ini dengan menghadapinya.
Seperti yang kita maklum selama
ini, Untuk tamat SD saja butuh 6 tahun. Padahal inti materi pelajaran SD
hanya tiga point, yakni belajar membaca, menulis dan matematika dasar.
Lainnya…? Hampir mayoritas mubazir. Kebanyakan ilmu yang diajarkan
adalah ilmu yang jelas jelas gak ada relevansinya saat anak nantinya
beraktifitas dilingkungannya. Akhirnya ilmu yang diajarkan guru hanya
untuk kepentingan sesaat waktu ulangan. Siap ulangan ilmu tersebut dibuang ke
tong sampah. Gak pernah di ingat lagi karena memang tidak terpakai
dalam kehidupan sehari hari.
Daripada mata pelajaran / mata kuliah
mubazir seperti itu, tentu merupakan peluang yang bagus untuk memasukkan
mata kuliah Entrepreneur kepada siswa atau mahasiswa untuk menyuntikkan
virus entrepreneur tadi.
Bursa kerja fair yang rutin
dilaksanakan diseluruh Indonesia, jika ditelaah lebih jauh, sebenarnya,
juga untuk "meng-amini sistem" pendidikan dari pemerintah tadi, untuk
mencetak orang gajian. Boleh dikatakan semua lembaga kursus di Indonesia
juga memiliki visi dan misi menjadikan peserta didiknya untuk jadi
orang gajian seumur hidup. Bahkan, salah satu lembaga kursus
mengiklankan diri dengan bunyi:
--95% alumni LP3xx sudah bekerja--
Bukan
salah Bursa Kerja Fair atau Lembaga Pendidikan tadi. Tapi Sistem
pendidikan yang masih menyesatkan pola pikir anak anak muda kita yang
potensial yang berakibat banyak di antara para muda, “terjerumus” jadi KULI sampai mati . Siapakah yang bisa mengubah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar