Imam Suprayogo |
Sementara orang memisahkan antara peran ulama dan peran politikus. Mereka berpendapat bahwa, ulama semestinya mengurus umat saja, dan tidak perlu ikut-ikut mengurus politik. Kegiatan politik agar diurus oleh politikus. Begitu pula sebaliknya, politikus tidak perlu ikut mengurus agama. Bidang itu agar diurus oleh ahli-ahli agama.
Atas dasar alasan profesionalisme, ulama diharapkan mengurus agama dan politikus ngurus negara. Pandangan itu seolah-olah tepat. Pemisahan itu dimaksudkan agar tidak terjadi campur aduk antara mengurus agama dan ngurus politik. Keduanya harus ditangani secara profesional. Pemisahan itu akan menghindari sikap-sikap mendua, antara peran sebagai ulama, yaitu membimbing umat agar beragama, dan sebagai politikus yang harus mengurus negara.
Namun demikian, pikiran tersebut menjadi tidak tepat jika Islam dipahami bukan saja mengurus agama melainkan juga peradaban secara luas. Islam adalah ajaran tentang tata kehidupan secara menyeluruh. Ajaran Islam bukan saja menyangkut kegiatan di masjid atau kegiatan ritual seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, melainkan juga menyangkut persoalan ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, hukum, manajemen, dan semua hal yang terkait dengan kehidupan yang luas ini.
Manakala ulama Islam hanya terbatas mengurus masjid, tampil memimpin shalat berjama'ah, berdoa, mengurus soal-soal pernikahan, kematian, waris, dan sejenisnya, maka peran itu akan memberi kesan bahwa ajaran Islam sangat sempit dan terbatas. Sebagai seorang ulama dalam Islam, mereka harus mampu menjalani hidup bahwa di malam hari selalu mendekatkan diri pada Allah dan di siang harinya tampil tangguh memimpin masyarakat di bidang ekonomi, politik, pendidikan, sosial dan lain-lain.
Manakala di tengah masyarakat terdapat seorang yang berjubah dan bersurban memimpin dzikir, mengimami shalat, pergi umrah dan haji, maka hal itu tidak boleh dimaknai bahwa sosok pemimpin Islam hanya sebatas itu. Boleh-boleh saja seseorang menampakkan diri atau mengambil peran sebagai tokoh spiritual, tetapi pemimpin Islam sebenarnya tidak sebatas itu. Seseorang yang memahami kitab suci al Qur'an dan menghayati tradisi kehidupan Nabi, selain sehari-hari menjalankan kegiatan ritual juga seharusnya berjuang menegakkan keadilan, kejujuran, kesejahteraan ekonomi masyarakat, beramar makruf nahi mungkar. Mereka itu adalah sangat tepat disebut sebagai ulama dan atau pemimpin Islam.
Sejarah bangsa Indonesia selalu menyebut tentang peran penting partai politik Islam dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Demikian pula selalu disebutkan para tokoh-tokoh Islam dalam menyusun dasar negara dan berbagai perundang-undangan lainnya. Pancasila dan UUD 1945 dengan rumusannya seperti sekarang ini adalah tidak lepas dari sumbangan para politikus Islam ketika itu. Peran-peran para ulama dan juga kyai dalam sejarah perjuangan bangsa ini sedemikian jelas, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Hal itu semua membuktikan bahwa, betapa besar dan pentingnya para ulama dan atau tokoh Islam dalam mengambil peran politik di negeri ini.
Beberapa waktu yang lalu, saya menghadiri halaqoh nasional para ulama yang mengambil tempat di Gorontalo. Pada waktu itu dihadirkan para ulama dari berbagai wilayah, termasuk saya sebagai pembicara. Kegiatan yang diikuti oleh tidak kurang dari 200 an ulama itu membahas tentang ulama masa depan. Para pembicara rupanya lebih tertarik untuk menyadarkan akan terjadi kelangkaan ulama di masa depan. Disebutkan bahwa telah terjadi semakin terbatasnya kader ulama, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Gambaran itu rupanya mendapatkan pembenaran dari para peserta halaqoh.
Saya sebagai pembicara terakhir berusaha membalik seratus delapan puluh derajad dari semua pandangan yang telah dilontarkan sebelumnya. Ketika itu saya mengatakan bahwa sekarang ini tidak perlu memprihatinkan kader ulama. Bahwa ulama masa depan jauh lebih tangguh dari ulama masa lalu. Lembaga pendidikan Islam yang pada saat ini semakin banyak dan semakin maju, adalah sebagai tempat kaderisasi para ulama. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang misalnya, dengan melakukan inovasi dan pembaharuan, yaitu di antaranya memadukan antara tradisi pesantren dan universitas, dihasilkan kader-kader ulama yang sekaligus intelektual, dan intelektual yang sekaligus ulama.
Tidak sedikit para lulusannya yang menghafal al Qur'an dan sekaligus mendalami di bidang ilmu-ilmu modern seperti biologi, kimia, teknik, psikologi, ekonomi, pendidikan, bahasa dan sastra, dan lain-lain. Lulusan dengan kapabilitas atau kemampuan seperti itu diharapkan mampu tampil sebagai sosok pemimpin di masa depan yang lebih berkualitas dibandingkan dengan produk pemimpin atau tokoh Islam masa lalu. Tentu para lulusan dari kampus itu masih memerlukan penempaan selanjutnya di tengah-tengah masyarakat. Manakala mereka memperoleh peluang untuk tumbuh, maka akan sangat dimungkinkan mereka menjadi pemimpin Islam yang lebih handal.
Dalam kesempatan itu, para peserta hakaqoh, saya ajak secara bersama-sama merasakan keprihatinan terhadap peran-peran ulama dalam kancah politik pada akhir-akhir ini yang semakin merosot. Tatkala dihembuskan pemikiran bahwa ulama tidak perlu ikut dalam politik, ternyata dipercaya. Akibatnya, banyak ulama yang meninggalkan politik. Bahkan organisasi Islam juga dijauhkan dari politik. Sepertinya dalam Islam tidak ada ajaran tentang politik dan negara. Padahal Islam adalah mengajarkan kesejahteraan dan kebahagiaan, baik di dunia dan di akherat. Kesejahteraan dan kebahagiaan didunia tidak akan bisa diwujudkan manakala tidak diperjuangkan. Kegiatan memperjuangkan kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan bersama, itulah politik. Islam mengajarkan tentang itu semua.
Umat Islam harus mengkader ulama dan sekaligus politikus, atau politikus yang sekaligus ulama. Para ulama pada saat ini semestinya merasa prihatin bahwa peran-peran ulama di dalam kehidupan politik sudah semakin terpinggirkan. Partai politik yang beridentitas Islam semakin ditinggalkan. Begitu pula para tokoh semakin tidak berani mengklaim diri sebagai pemimpin politik Islam, mereka takut dianggap tidak populer. Gambaran itu, seharusnya dirasakan sebagai sesuatu yang memprihatinkan dan segera mendapatkan jalan keluarnya. Tokoh-tokoh Islam harus mengkader calon ulama dan sekaligus politiku. Selain itu, mereka harus segera bangkit dan bergerak, membangun masyarakat dalam berbagai bidang, baik pendidikan, agama, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain.
Atas dasar alasan profesionalisme, ulama diharapkan mengurus agama dan politikus ngurus negara. Pandangan itu seolah-olah tepat. Pemisahan itu dimaksudkan agar tidak terjadi campur aduk antara mengurus agama dan ngurus politik. Keduanya harus ditangani secara profesional. Pemisahan itu akan menghindari sikap-sikap mendua, antara peran sebagai ulama, yaitu membimbing umat agar beragama, dan sebagai politikus yang harus mengurus negara.
Namun demikian, pikiran tersebut menjadi tidak tepat jika Islam dipahami bukan saja mengurus agama melainkan juga peradaban secara luas. Islam adalah ajaran tentang tata kehidupan secara menyeluruh. Ajaran Islam bukan saja menyangkut kegiatan di masjid atau kegiatan ritual seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, melainkan juga menyangkut persoalan ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, hukum, manajemen, dan semua hal yang terkait dengan kehidupan yang luas ini.
Manakala ulama Islam hanya terbatas mengurus masjid, tampil memimpin shalat berjama'ah, berdoa, mengurus soal-soal pernikahan, kematian, waris, dan sejenisnya, maka peran itu akan memberi kesan bahwa ajaran Islam sangat sempit dan terbatas. Sebagai seorang ulama dalam Islam, mereka harus mampu menjalani hidup bahwa di malam hari selalu mendekatkan diri pada Allah dan di siang harinya tampil tangguh memimpin masyarakat di bidang ekonomi, politik, pendidikan, sosial dan lain-lain.
Manakala di tengah masyarakat terdapat seorang yang berjubah dan bersurban memimpin dzikir, mengimami shalat, pergi umrah dan haji, maka hal itu tidak boleh dimaknai bahwa sosok pemimpin Islam hanya sebatas itu. Boleh-boleh saja seseorang menampakkan diri atau mengambil peran sebagai tokoh spiritual, tetapi pemimpin Islam sebenarnya tidak sebatas itu. Seseorang yang memahami kitab suci al Qur'an dan menghayati tradisi kehidupan Nabi, selain sehari-hari menjalankan kegiatan ritual juga seharusnya berjuang menegakkan keadilan, kejujuran, kesejahteraan ekonomi masyarakat, beramar makruf nahi mungkar. Mereka itu adalah sangat tepat disebut sebagai ulama dan atau pemimpin Islam.
Sejarah bangsa Indonesia selalu menyebut tentang peran penting partai politik Islam dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Demikian pula selalu disebutkan para tokoh-tokoh Islam dalam menyusun dasar negara dan berbagai perundang-undangan lainnya. Pancasila dan UUD 1945 dengan rumusannya seperti sekarang ini adalah tidak lepas dari sumbangan para politikus Islam ketika itu. Peran-peran para ulama dan juga kyai dalam sejarah perjuangan bangsa ini sedemikian jelas, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Hal itu semua membuktikan bahwa, betapa besar dan pentingnya para ulama dan atau tokoh Islam dalam mengambil peran politik di negeri ini.
Beberapa waktu yang lalu, saya menghadiri halaqoh nasional para ulama yang mengambil tempat di Gorontalo. Pada waktu itu dihadirkan para ulama dari berbagai wilayah, termasuk saya sebagai pembicara. Kegiatan yang diikuti oleh tidak kurang dari 200 an ulama itu membahas tentang ulama masa depan. Para pembicara rupanya lebih tertarik untuk menyadarkan akan terjadi kelangkaan ulama di masa depan. Disebutkan bahwa telah terjadi semakin terbatasnya kader ulama, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Gambaran itu rupanya mendapatkan pembenaran dari para peserta halaqoh.
Saya sebagai pembicara terakhir berusaha membalik seratus delapan puluh derajad dari semua pandangan yang telah dilontarkan sebelumnya. Ketika itu saya mengatakan bahwa sekarang ini tidak perlu memprihatinkan kader ulama. Bahwa ulama masa depan jauh lebih tangguh dari ulama masa lalu. Lembaga pendidikan Islam yang pada saat ini semakin banyak dan semakin maju, adalah sebagai tempat kaderisasi para ulama. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang misalnya, dengan melakukan inovasi dan pembaharuan, yaitu di antaranya memadukan antara tradisi pesantren dan universitas, dihasilkan kader-kader ulama yang sekaligus intelektual, dan intelektual yang sekaligus ulama.
Tidak sedikit para lulusannya yang menghafal al Qur'an dan sekaligus mendalami di bidang ilmu-ilmu modern seperti biologi, kimia, teknik, psikologi, ekonomi, pendidikan, bahasa dan sastra, dan lain-lain. Lulusan dengan kapabilitas atau kemampuan seperti itu diharapkan mampu tampil sebagai sosok pemimpin di masa depan yang lebih berkualitas dibandingkan dengan produk pemimpin atau tokoh Islam masa lalu. Tentu para lulusan dari kampus itu masih memerlukan penempaan selanjutnya di tengah-tengah masyarakat. Manakala mereka memperoleh peluang untuk tumbuh, maka akan sangat dimungkinkan mereka menjadi pemimpin Islam yang lebih handal.
Dalam kesempatan itu, para peserta hakaqoh, saya ajak secara bersama-sama merasakan keprihatinan terhadap peran-peran ulama dalam kancah politik pada akhir-akhir ini yang semakin merosot. Tatkala dihembuskan pemikiran bahwa ulama tidak perlu ikut dalam politik, ternyata dipercaya. Akibatnya, banyak ulama yang meninggalkan politik. Bahkan organisasi Islam juga dijauhkan dari politik. Sepertinya dalam Islam tidak ada ajaran tentang politik dan negara. Padahal Islam adalah mengajarkan kesejahteraan dan kebahagiaan, baik di dunia dan di akherat. Kesejahteraan dan kebahagiaan didunia tidak akan bisa diwujudkan manakala tidak diperjuangkan. Kegiatan memperjuangkan kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan bersama, itulah politik. Islam mengajarkan tentang itu semua.
Umat Islam harus mengkader ulama dan sekaligus politikus, atau politikus yang sekaligus ulama. Para ulama pada saat ini semestinya merasa prihatin bahwa peran-peran ulama di dalam kehidupan politik sudah semakin terpinggirkan. Partai politik yang beridentitas Islam semakin ditinggalkan. Begitu pula para tokoh semakin tidak berani mengklaim diri sebagai pemimpin politik Islam, mereka takut dianggap tidak populer. Gambaran itu, seharusnya dirasakan sebagai sesuatu yang memprihatinkan dan segera mendapatkan jalan keluarnya. Tokoh-tokoh Islam harus mengkader calon ulama dan sekaligus politiku. Selain itu, mereka harus segera bangkit dan bergerak, membangun masyarakat dalam berbagai bidang, baik pendidikan, agama, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar