Pemerintah mengabaikan peningkatan daya saing
global petani dan produk pertanian pangan nasional sehingga saat
penerapan perdagangan bebas produk impor membanjiri pasar domestik.
Akibatnya, liberalisasi pangan justru memperkaya petani negara ekspotir dan sebaliknya mematikan masa depan pertanian dan petani nasional. Untuk itu, pemerintah mesti segera menyelamatkan pasar komoditas pangan pokok domestik dengan menerapkan kebijakan yang berpihak kepada petani dan sektor pertanian pangan dalam negeri.
Koordinator Aliansi Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, menambahkan hancurnya pangan nasional karena kebergantungan pada impor yang sangat tinggi. Kebergantungan ini menunjukkan betapa lemahnya aparatur negara dalam mengatur kebijakan, baik di level dukungan pada produsen pangan dalam negeri maupun pada negosiasi kesepakatan-kesepakatan internasional.
"Kasus hortikultura dan terigu misalnya, menunjukkan lemahnya negosiator pemerintah dalam menghadapi tekanan bilateral dengan negara- negara maju," kata dia di Jakarta, Senin (29/4).
Selain itu, lanjut dia, kalau pemerintah benar-benar bertujuan menghilangkan isu sulitnya pasokan pangan dalam negeri, pemerintah harus segera membentuk badan khusus pangan yang memunyai otoritas sekelas menteri koordinator untuk menyusun road map kemandirian pangan.
"Nantinya, badan pangan bisa memberlakukan mekanisme tarif untuk menjaga pasar pangan lokal sampai benar-benar kuat untuk menghadapi produk negara pesaing. Misalnya, saat panen, naikkan setinggi-tingginya bea masuk.
Sebaliknya, saat masa sulit, turunkan bea masuk. Pada saat yang sama, dukungan terhadap pertanian nasional dilakukan dengan sungguh-sungguh," jelas Tejo. Pembentukan badan otoritas pangan merupakan amanah UU Pangan yang telah disahkan Oktober tahun lalu. Badan ini akan bertugas mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional.
Untuk itu, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Sebelumnya, pengamat pertanian, Henry Saragih, juga berpendapat senada dengan Tejo. Henry mengharapkan pemerintah segera mengoreksi kebijakan salah dalam pengelolaan pangan nasional yang akhirnya mengakibatkan Indonesia sangat bergantung pada pangan impor.
Sebagai konsekuensi dari kesepakatan perdagangan bebas, pemerintah semestinya menerapkan kebijakan dengan fokus melindungi industri pertanian dan petani pangan dari keterpurukan akibat kalah bersaing dengan produk impor.
Disorientasi Kebijakan
Manajer Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan ada disorientasi dalam kebijakan pertanian sehingga petani terpuruk dan produknya kalah bersaing dengan produk impor.
"Kebijakan pertanian memang mengkhawatirkan. Seharusnya kebijakan hortikultura itu untuk mengendalikan impor dan memberi kesempatan tumbuhnya produksi di dalam negeri. Yang terjadi justru sebaliknya, impor diberi kemudahan," kata Said.
Menurut dia, dukungan pemerintah yang minim telah menghambat produktivitas pangan domestik sehingga kebergantungan pada impor meningkat. Ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani juga terlihat ketika tidak mampu mengendalikan kartelisasi pangan. Yang terjadi pemerintah justru didikte oleh pelaku kartel yang mampu mengendalikan pasokan, distribusi, dan harga.
"Rencana 2014, lima komoditas akan swasembada. Itu juga akan gagal dan tidak akan tercapai. Monopoli masih berlangsung, kartel masih bermain, jika kondisi ini terus berlangsung maka petani akan terpuruk," ujarnya.
Akibatnya, liberalisasi pangan justru memperkaya petani negara ekspotir dan sebaliknya mematikan masa depan pertanian dan petani nasional. Untuk itu, pemerintah mesti segera menyelamatkan pasar komoditas pangan pokok domestik dengan menerapkan kebijakan yang berpihak kepada petani dan sektor pertanian pangan dalam negeri.
Buah Import |
Koordinator Aliansi Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, menambahkan hancurnya pangan nasional karena kebergantungan pada impor yang sangat tinggi. Kebergantungan ini menunjukkan betapa lemahnya aparatur negara dalam mengatur kebijakan, baik di level dukungan pada produsen pangan dalam negeri maupun pada negosiasi kesepakatan-kesepakatan internasional.
"Kasus hortikultura dan terigu misalnya, menunjukkan lemahnya negosiator pemerintah dalam menghadapi tekanan bilateral dengan negara- negara maju," kata dia di Jakarta, Senin (29/4).
Selain itu, lanjut dia, kalau pemerintah benar-benar bertujuan menghilangkan isu sulitnya pasokan pangan dalam negeri, pemerintah harus segera membentuk badan khusus pangan yang memunyai otoritas sekelas menteri koordinator untuk menyusun road map kemandirian pangan.
"Nantinya, badan pangan bisa memberlakukan mekanisme tarif untuk menjaga pasar pangan lokal sampai benar-benar kuat untuk menghadapi produk negara pesaing. Misalnya, saat panen, naikkan setinggi-tingginya bea masuk.
Sebaliknya, saat masa sulit, turunkan bea masuk. Pada saat yang sama, dukungan terhadap pertanian nasional dilakukan dengan sungguh-sungguh," jelas Tejo. Pembentukan badan otoritas pangan merupakan amanah UU Pangan yang telah disahkan Oktober tahun lalu. Badan ini akan bertugas mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional.
Untuk itu, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Sebelumnya, pengamat pertanian, Henry Saragih, juga berpendapat senada dengan Tejo. Henry mengharapkan pemerintah segera mengoreksi kebijakan salah dalam pengelolaan pangan nasional yang akhirnya mengakibatkan Indonesia sangat bergantung pada pangan impor.
Sebagai konsekuensi dari kesepakatan perdagangan bebas, pemerintah semestinya menerapkan kebijakan dengan fokus melindungi industri pertanian dan petani pangan dari keterpurukan akibat kalah bersaing dengan produk impor.
Disorientasi Kebijakan
Manajer Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan ada disorientasi dalam kebijakan pertanian sehingga petani terpuruk dan produknya kalah bersaing dengan produk impor.
"Kebijakan pertanian memang mengkhawatirkan. Seharusnya kebijakan hortikultura itu untuk mengendalikan impor dan memberi kesempatan tumbuhnya produksi di dalam negeri. Yang terjadi justru sebaliknya, impor diberi kemudahan," kata Said.
Menurut dia, dukungan pemerintah yang minim telah menghambat produktivitas pangan domestik sehingga kebergantungan pada impor meningkat. Ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani juga terlihat ketika tidak mampu mengendalikan kartelisasi pangan. Yang terjadi pemerintah justru didikte oleh pelaku kartel yang mampu mengendalikan pasokan, distribusi, dan harga.
"Rencana 2014, lima komoditas akan swasembada. Itu juga akan gagal dan tidak akan tercapai. Monopoli masih berlangsung, kartel masih bermain, jika kondisi ini terus berlangsung maka petani akan terpuruk," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar