Anda
bisa saja mampu membuat sesuatu produk yang bernilai tinggi, bila
produk tersebut tidak sampai pada konsumen yang menikmati, maka tidak
lebih Anda hanya menimbun sampah yang sia-sia. Lengkapilah usaha Anda
hingga kepastian produk berharga Anda berujung kepuasan konsumen dan
untuk itu melibatkan berbagai aspek usaha dari bahan baku, permodalan,
manajemen, teknik produksi, peluang pasar dan prospek keuntungan.
Pelatihan
entrepreneurship (kewirausahaan) adalah kunci pengembangan usaha untuk
mampu merencanakan, menciptakan dan melaksanakan satu program kegiatan
usaha. Inovasi dan kreasi Anda akan berbuah menjadi kepuasan dan
kesejahteraan. Diluar itu dapat mengurangi jumlah penganggur,
menciptakan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan
keterpurukan ekonomis. Lebih jauh lagi dan politis, meningkatkan harkat
sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat.
Dalam
ranah pendidikan, persoalannya menyangkut bagaimana dikembangkan
praksis pendidikan yang tidak hanya menghasilkan manusia terampil dari
sisi ulah intelektual, tetapi juga praksis pendidikan yang
inspiratif-pragmatis.
Praksis pendidikan, lewat kurikulum, sistem dan penyelenggaraannya
harus serba terbuka, eksploratif, dan membebaskan. Tidak hanya praktis
pendidikan yang link and match (tanggem), yang lulusannya siap memasuki
lapangan kerja, tetapi juga siap menciptakan lapangan kerja.Saat
ini banyak entrepreneur muda yang kreatif, mereka jeli menangkap
peluang menjawab kebutuhan komunitas kampus yang sebelumnya bisnis
tersebut belum ada. Misalnya bisnis refil tinta, merakit komputer, jual
beli buku, cuci kiloan, melukis sepatu dan melukis kaos sama. Wirausaha
muda inovatif ini banyak ditemui di kota Yogyakarta dan Bandung.
Sebaliknya,
pada saat yang sama, rekan-rekan mereka berebut tempat meraih kursi
pegawai negeri. Ribuan anak muda terdidik berdesakan antre mendaftar,
mengikuti ujian saringan, bahkan ada yang perlu merogoh kocek ratusan
ribu untuk pelicin.
Ditarik dalam konteks nasional hal ini adalah ilustrasi kondisi
ketenagakerjaan Indonesia, lebih jauh lagi potret lemahnya jiwa
kewirausahaan. Misalnya, bahkan untuk sarjana yang relatif potensial
terserap di lapangan kerja pun, sampai pertengahan tahun lalu 70 persen
dari 6.000 sarjana pertanian lulusan 58 perguruan tinggi di Indonesia
menganggur. Merekalah bagian dari 9,43 juta atau 8,46 persen jumlah
penduduk pada Februari 2008.
Tidak imbangnya jumlah pelamar kerja dan lowongan kerja, gejalanya
merata di seluruh pelosok—bahkan jumlah penganggur terdidik yang semakin
membesar, menunjukkan kecilnya jiwa kewirausahaan. Para lulusan lebih
tampil sebagai pencari kerja dan belum sebagai pencipta lapangan kerja.
Tidak terserapnya lulusan pendidikan ke lapangan kerja memang tidak
sepenuhnya disebabkan faktor tak adanya jiwa kewirausahaan. Banyak
faktor lain menjadi penyebab. Meskipun demikian, tampaknya faktor dan
tantangan terpenting adalah bagaimana institusi pendidikan berhasil
membentuk atau menanamkan semangat, jiwa, dan sikap kewirausahaan.
Sebagai disiplin ilmu, kewirausahaan bisa diajarkan lewat sistem
terstruktur, salah satu hasil penting dan utama praksis pendidikan.
Lembaga pendidikan tidak dapat memberikan pekerjaan, tetapi bisa
memastikan agar hasil didik mampu menciptakan pekerjaan.
Mengutip
Peter F Drucker, pakar manajemen yang kondang pada tahun 1990-an,
kewirausahaan itu bukan bimsalabim, apalagi berurusan dengan keturunan.
Singapura dengan memiliki 4 persen wirausaha dari total penduduknya,
sementara Indonesia baru 0,18 persen dari total sekitar 225 juta
penduduk, bukan karena mayoritas penduduknya beretnis China dan
Indonesia mayoritas Jawa. Ketimpangan itu disebabkan kurang
terselenggaranya praksis pendidikan yang membuka ke arah kreativitas dan
temuan-temuan bersama.
Inisiatif
pada tahun 2010 ini Kementerian Urusan Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah (UKM) mengalokasikan dana Rp 50 miliar untuk mencetak 10.000
sarjana wirausaha perlu dihargai. Proyek itu menambah adrenalin
Kementerian Pendidikan Nasional yang lama terengah-engah dengan
masalah-masalah teknis dan sistem.
Dana
UKM itu digunakan untuk pemberdayaan sarjana di bawah usia 30 tahun
yang masih menganggur. Sejak digulirkan Desember 2009 dan telah
disosialisasikan ke sembilan provinsi, program ini diikuti 4.525 sarjana
dan akan berlangsung sampai tahun 2014 dengan target tahunan tercipta
10.000 atau seluruhnya 50.000 wirausaha baru hingga tahun 2014.
Memang
bisa dikatakan terlambat, sebab justru kewirausahaan seharusnya
ditanamkan sejak di jenjang pendidikan anak usia dini dan bukan
dicangkokkan setelah lulus. Namun, tak ada kata terlambat untuk suatu
perbaikan. Program ini merupakan bagian dari upaya memperbesar jumlah
wirausaha Indonesia.
Tercatat
jumlah 48 juta wirausaha Indonesia, tetapi yang benar-benar
wirausahawan sejati sebenarnya hanya 0,1 persen atau sekitar 400.000
orang. Minimal dari jumlah total penduduk, setidaknya Indonesia harus
memiliki 2 persen dari jumlah itu. Upaya itu sejalan dengan ”impian”
Ciputra, salah satu entrepreneur Indonesia yang obses, bahwa pada 25
tahun lagi lahir 4 juta entrepreneur Indonesia.
Relatif barang baru
Kewirausahaan
memang masih merupakan barang baru untuk Indonesia, sementara AS sudah
mengenalnya sejak 30 tahun lalu dan Eropa 6-7 tahun lalu. Munculnya
entrepreneur sebagai hasil lembaga pendidikan dan buah learning by doing
masih ada perbedaan persepsi. Ada yang berpendapat jiwa kewirausahaan
tidak harus dihasilkan dari lembaga pendidikan, ada pendapat lain bisa
dilakukan tidak lewat proses yang direncanakan.
Kewirausahaan
bisa tumbuh juga dari semangat mengambil risiko tanpa takut, bukan
lewat pendidikan khusus kewirausahaan atau manajemen. Modal utama
seorang entrepreneur bukanlah uang, melainkan kreativitas dan mampu
melihat peluang pasar. Sedikit berbeda dengan pedagang kewirausahaan
menciptakan dan menawarkan nilai, sementara jiwa dagang hanya menawarkan transfer nilai sebuah produk.
Selain
Kementerian Urusan Koperasi dan UKM, Kementerian Pendidikan Nasional
yang bertanggung jawab dalam urusan pendidikan perlu diakui belum lama
tanggap. Walaupun masih terengah-engah bergulat dengan soal-soal teknis,
bekerja sama dengan lembaga penggiat wiraswasta seperti Ciputra
Entrepreneurship Center, Kementerian Pendidikan Nasional melakukan upaya
membangun jiwa kewirausahaan. Dilakukan dengan membenahi kurikulum
berbasis komunitas, memperbaiki praksis pendidikan di sekolah kejuruan
dan tinggi, sampai pada pengarbitan calon-calon entrepreneur yang
dicangkokkan di lembaga pendidikan tinggi.
Banyaknya
industri kreatif yang dihasilkan bangsa ini menunjukkan sebenarnya
bangsa ini kreatif. Tetapi, mengapa kekayaan alam dan kekayaan budaya
dengan segala keragamannya itu tidak dimanfaatkan untuk ekonomi?
Pendidikan
Kewirausahaan berperan penting untuk mengembangkan daya kreasi. Bila
seorang tidak punya jiwa kewirausahaan, maka dengan gampang terjerumus
pada sikap mental terjajah karena sejak awal pun bangsa ini terbelenggu
tidak dibesarkan dalam budaya wirausaha. Melalui kewirausahaan
sebenarnya anugerah alam raya Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kemajuan
dan kesejahteraan bangsa.
Gerakan nasional
Masalahnya, apakah yang perlu dipelajari generasi muda mengembangkan jiwa kewirausahaan? Kepercayaan diri menjadi modal utama, selain sikap dan kemauan terus menemukan yang baru tanpa kenal risiko.
Kewirausahaan
membuat orang yang berhasrat besar terhadap sesuatu menjadi mandiri
secara finansial dan berkontribusi untuk masyarakat. Dia melatih
keterampilan, know-how, dan tindakan yang menghasilkan ide-ide dan
inovasi, meyakinkan orang lain untuk menolong dan bekerja dalam sebuah
tim, menerjemahkan ide menjadi kenyataan, dan mendirikan perusahaan.
Dalam
konteks Indonesia, dengan kecilnya jumlah entrepreneur, kewirausahaan
menjadi keharusan. Dialah kunci kemajuan. Dunia membutuhkan solusi
masalah yang bisa mewujudkan impian jadi kenyataan, dilandasi ambisi dan
keberanian mengambil risiko secara cerdas.
Dibutuhkan satu gerakan nasional, semacam Gerakan Kewirausahaan berbasis komunitas untuk melahirkan UKM-UKM baru di satu pihak, sekaligus praksis pendidikan yang berorientasi pada pendidikan yang membebaskan di atas habitat masyarakat yang kondusif positif menyangkut 3 L (lahir, lingkungan, latihan). Gerakan baru itu dirumuskan oleh Ciputra sebagai Gerakan Budaya Wirausaha yang melibatkan pemerintah, akademisi, bisnis, dan sosok-sosok sosial.
Dibutuhkan satu gerakan nasional, semacam Gerakan Kewirausahaan berbasis komunitas untuk melahirkan UKM-UKM baru di satu pihak, sekaligus praksis pendidikan yang berorientasi pada pendidikan yang membebaskan di atas habitat masyarakat yang kondusif positif menyangkut 3 L (lahir, lingkungan, latihan). Gerakan baru itu dirumuskan oleh Ciputra sebagai Gerakan Budaya Wirausaha yang melibatkan pemerintah, akademisi, bisnis, dan sosok-sosok sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar