Kalau banjir setelah dilanda hujan di kota Jakarta adalah sudah
biasa, seperti warga Jakarta lainya Akupun sudah hafal mengatasinya
permasalahannya malahn bahkan mendatakan rejeki yang tak terduga.
Akan tetapi hujan deras disertai angin tadi malam hampir-hampir
melenyapkan seluruh hartaku, tempat tinggalku porak poranda, triplek
bekas yang kumanfaatkan untuk dinding tersapu angin, air hujan membasahi
kardus bekas yang belum terjual. Tidak hanya itu nasi aking yang aku
kumpulkan untuk persediaan dikala darurat juga menjadi bagian korban
korban angin ribut.
Angin ribut tak mengenal belas kasihan, tampaknya sudah sepakat dengan
kekejaman Ibukota yang mempesonakan khayalanku untuk merubah nasib
bersama dua anakku yang tidak memahami apa itu dosa.
Dari pagi hingga siang aku berpikir keras supaya sisa uang receh
satu-satunya uang yang tersisa di saku anakku tidak aku ganggu untuk
membeli nasi bungkus. Sore itu sekiatar jam 4 dengan terpaksa delapan
lembaran uang ribuan dan satu keping uang logam lima ratus aku tukarkan
dengan dua bungkus nasi rames. Aku tidak tahan melihat anak-anakku
seharian tidak makan, celakanya mereka malah menggelengkan kepala ketika
dua bungkus nasi rames dan satu kantong plastik teh hangat aku
tawarkan.
Kesal, jengkel, kecewa dan sedih menjadi satu harus berbuat
apa diriku, ingin marah rasanya kepada anak-anakku, tapi bukankah mereka
berdua sedang lapar. Sejenak kemudian Aku baru mengerti mereka
terserang masuk angin, jadi kehilangan selera makan. Aku mencoba merayu :
“Kamu boleh saja tidak makan, tapi kalau air teh hangat pasti mau,
khan?”. Akhirnya mereka mau minum separoh teh hangat yang kubelikan,
tampak keduanya juga akhirnya meraih nasi bungkus itu.
Tengah malam perutku mules, pertanda kelaparan sehari tidak kemasukan
makanan selain air putih, Aku tengok kedua Anakku yang tertidur dalam
posisi duduk bersandar tiang jembatan, tampaknya mereka mulai gelisah,
Aku tahu mereka pasti lapar lagi. Sebelum mereka betul-betul lapar Aku
bangunkan mereka, satu perjuangan melawan kelaparan harus Aku selesaikan
tengah malam ini.
Rel kereta Api Aku susuri hingga sampai di stasiun kereta Jatinegara.
Aku ingat ketika masuk ke kota Jakarta naik kereta api menjadi penumpang
gelap diruang masinis. Kala itu kedua masinis menawarkan jatah
makanannya kepadaku, tapi aku menolak karena terasa masih kenyang dan
saat itu masih punya cukup uang saku. Aku ingat sekali kereta itu kereta
Arya Kamandanu datang dari Semarang sampai di stasiun Jatinegara jam 3
pagi. Aku tunggu kereta itu sejak jam 2 pagi di stasiun, dan syukurlah
kereta sesuai jadwal datang. Terlihat kereta Arya Kamandanu masuk
stasiun, Aku hampiri loko kereta api, Aku mendadak lincah meskipun perut
kelaparan segera naik tangga lokomotif dan masuk ruang masinis.
Begitu pintu Aku buka kemudian kusapa kedua masinis:” Hallo Boss, masih ingat Aku?, Nasinya mana?”
Sedikit agak benggong masinis menjawab: “Tuh, jatahmu, ambil saja semua, tapi wadah jangan dibawa”.
Aku gelar kertas koran , terus dengan cepat aku tumpahkan nasi, sayur
salad, daging empal dan kerupuk jadi satu di selembar kertas koran itu.
Syukurlah anak-anakku ketika itu punya selera makan, jadilah pesta liar
dipinggir rel kereta stasiun Jatinegara.
Sampai saat ini ribuan orang masih menggantungkan urusan untuk makan di seputar stasiun dan dalam gerbong kereta api.
Azhar Muhammad
3 komentar:
cerpen kah bang??? keren banget komen back y
Yaa ini memang cerpen
Terima kasih banyak atas ceritanya yg sangat menarik. Setelah membacanya berulangkali, saya jadi mengerti dan sedih sekali serta pikiran jadi melayang "betapa kayanya" alam Indonesia tidak mungkin hal dalam cerita itu terjadi.
Posting Komentar