Seorang pria sedang berjalan sepanjang pantai Ancol
dan tersandung oleh sebuah lentera tua. Ia memungutnya, menggosoknya,
dan keluarlah seorang jin. Jin pria yang tidak terlalu tampan yang
menggunakan baju adat jawa ini berkata, "Terima kasih karena Anda sudah
melepaskan aku dari lentera ini, Tuan yang baik, mintalah padaku apa
pun yang dapat Anda bayangkan, dan aku akan mengabulkan keinginan Anda."
Pria ini berpikir sejenak dan akhirnya berkata, "Selama ini aku selalu ingin terbang ke Bali, tetapi aku takut terbang, dan sangat mabuk laut jika naik kapal laut. Dapatkah engkau membangun jalan raya dari rumahku di Jakarta ke Bali?" Jin tersebut menatap tanpa ekspresi lalu berkata, "Uange piro? Hehe maaf bercanda Tuan. Maksudku Itu mustahil! Pikirkanlah soal logistiknya. Bagaimana tiang penopangnya dapat mencapai dasar laut? Pikirkanlah berapa banyak beton dan baja yang akan diperlukan, dan bayangkanlah kemustahilan teknis dalam pembuatannya. Ajukanlah permintaan lain."
Pria tersebut berpikir dan akhirnya menjawab, "Istriku menganggapku tidak peka. Tolonglah aku untuk benar-benar memahami wanita. Mengapa mereka menangis saat bahagia? Mengapa mereka menangis saat marah? Mengapa suasana hati mereka berubah seketika tanpa alasan? Tolonglah aku untuk benar-benar mengerti wanita."
Jin tersebut menatap pria ini dengan tatapan dingin dan berkata, "Anda mau jalan raya ke Bali itu dua atau empat jalur ya?" Ya, tidak mudah memang untuk bisa memahami orang lain. Apakah itu memahami istri, memahami suami, memahami mertua, memahami pacar, memahami pimpinan, memahami staff, memahami pelanggan, memahami siapa pun di luar diri kita. Karena saat kita menilai mereka, tolok ukurnya adalah diri kita sendiri. Sehingga kalau itu yang terjadi, besar kemungkinan kita tidak menemukan kesusuaian antara kenyataan dengan harapan.
Seperti yang terjadi pada keluarga Elliot, dikeluarganya hanya ada dua laki-laki, yaitu Billy dan ayahnya. Ayah Billy bekerja di tambang batu bara di Irlandia. Rupanya diam-diam Billy memiliki impian menjadi seorang penari. Guru tarinya (seorang perempuan) melihat bahwa Billy memiliki bakat. Ia mengatakan pada Billy bahwa kalau ia bekerja keras, ia pasti bisa menjadi penari terkenal. Tapi ternyata ayah Billy marah besar. Menurutnya, dunia tari adalah dunia perempuan! Ia tidak mengijinkan putranya menjadi bagian dari dunia ini dan lebih baik ia belajar tinju! Billy harus memiliki tekad baja untuk menunjukan pada keluarganya bahwa dunia tari juga bisa menjadi dunia laki-laki. Itulah kisah Billy Elliot yang diangkat menjadi sebuah film dengan judul yang sama dengan namanya, Billy Elliot.
Persolan ketidaksesuaian pemahaman tentu tidak hanya
terjadi pada Billy dan ayahnya saja. Hal seperti ini sering terjadi
disekitar kita juga. Seperti seorang pimpinan
yang kesulitan mengendalikan timnya hanya karena tidak memahami
keinginan mereka. Atau pelaksana yang merasa pimpinanya tidak peka akan
perasaan mereka dan menilai bosnya adalah orang yang otoriter dan
semena-mena. Sebetulnya persoalan ini sederhana, kalau saja
masing-masing pihak mau rendah hati dan menempatkan orang lain lebih
istimewa dibandingkan dengan dirinya. Namun ini menjadi tidak sederhana
karena kita semua memiliki ego yang selalu menuntut untuk diperhatikan
daripada memperhatikan, dipahami daripada memahami. Itu artinya, selama
pikiran kita tidak mau berempati dengan menempatkan diri kita di posisi
orang lain, selama itu pula tujuan mulia yang menjadi kepentingan
bersama tidak akan pernah tercapai.
Pernahkah Anda memperhatikan orang yang sedang
memancing ikan? Ya, supaya mendapat tangkapan ikan mereka menggunakan
umpan yang disuka oleh ikan, bukan memasang umpan yang disuka oleh si
pemancing. Jadi kalau pemancing saja bisa mengetahui keinginan ikan
lalu memberi umpan yang sesuai dengan kegemarannya, harusnya dengan
sedikit usaha kita juga bisa menjadi “pemancing” yang hebat hanya
dengan menggunakan sudut pandang yang tepat.
Sigit Risat
Motivator and Career Coach JobsDB.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar