Cerita tentang Islam yang mempunyai banyak
ekspresi bukanlah hal yang baru. Sejak dulu, agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk Indonesia ini memiliki pelbagai ragam manifestasi
pada banyak level. Pada level doktrin dan keyakinan (teologis), sejak
dulu ada banyak sekte dalam Islam: Sunni, Syiah, Mu’tazilah, dsb. Pada
mazhab hukum, ada banyak kelompok Islam: Hanafi, Maliki, Syafii dan
Hanbali. Pada level kecenderungan intelektual, ada banyak trend dalam
Islam: ada Islam model kaum fuqaha, ada Islam model kaum sufi, ada Islam
model kaum filsuf yang banyak memakai pendekatan rasional.
Cerita tentang Islam yang mempunyai banyak ekspresi bukanlah hal
yang baru. Sejak dulu, agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk
Indonesia ini memiliki pelbagai ragam manifestasi pada banyak level.
Pada level doktrin dan keyakinan (teologis), sejak dulu ada banyak sekte
dalam Islam: Sunni, Syiah, Mu’tazilah, dsb. Pada mazhab hukum, ada
banyak kelompok Islam: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Pada level
kecenderungan intelektual, ada banyak trend dalam Islam: ada Islam model
kaum fuqaha, ada Islam model kaum sufi, ada Islam model kaum filsuf
yang banyak memakai pendekatan rasional.
Pada level kehidupan sehari-hari, ada banyak ragam model Islam juga.
Ada Islam “tekstual” sebagaimana digeluti oleh para sarjana yang biasa
bekerja dengan teks, ada juga Islam “populer” yang kerap bercampur
dengan tradisi-tradisi setempat yang begitu beragam. Bagi kalangan Islam
yang biasa bergelut dengan teks-teks standar, Islam populer itu
biasanya dianggap menyimpang, karena bercampur dengan tradisi pra-Islam.
Jika kalangan Islam tekstual cenderung memurnikan Islam dari pengaruh
budaya-budaya populer, Islam populer justru mengembangkan corak
keberagamaan yang menyerap budaya-budaya itu –-apa yang sering disebut
sebagai “inkulturasi”.
Perubahan watak ruang sosial juga punya pengaruh yang besar dalam
pluralisasi atau proses peragaman Islam itu. Dalam ruang sosial yang
otoriter di mana kebebasan dibatasi, sebagaimana kita lihat pada era
Orde Baru dulu, corak keragaman Islam lebih “terkontrol”. Pada era itu,
corak Islam yang “politis” selalu diawasi dan dibatasi geraknya, karena
bisa mengganggu keamanan nasional. Dalam ruang demokratis yang terbuka
seperti kita alami saat ini, corak Islam mengalami pluralisasi yang kian
akut dan intensif.
Buku yang disunting Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam:
Religious Life and Politics in Indonesia (2008), merekam dengan baik
proses pluralisasi Islam pasca-reformasi itu. Baru-baru ini, buku itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Komunitas
Bambu dengan judul yang lumayan “seksi”, Ustadz Seleb, Bisnis Moral, dan
Fatwa Online.
Salah satu gejala menarik yang dipotret buku itu ialah komersialisasi
agama. Istilah ini tak harus berkonotasi negatif. Gejala komersialisasi
bukanlah khas Islam saja. Hampir dalam semua agama besar dunia, kita
melihat gejala komersialisasi agama. Tetapi ada juga kalangan lain yang
melihat gejala ini secara negatif, karena ia bisa menimbulkan
pendangkalan agama.
Apa yang disebut dengan komersialisasi, mengutip definisi Greg Fealy
dalam buku itu, adalah usaha menjadikan ajaran agama atau
simbol-simbolnya yang kasat mata sebagai komoditi yang bisa
diperjual-belikan untuk meraih keuntungan (the turning of faith and its
symbols into commodity capable of being bought and sold for profit).
Gejala ini tentu saja bukan saja khas era saat ini. Sejak dulu,
komersialisasi agama dalam pengertian mengkonsumsi simbol-simbol agama
seperti pakaian dan asesori lain sudah ada. Tetapi ada yang khas pada
gejala komersialiasi agama di zaman kapitalisme global sekarang ini.
Salah satu yang khas pada komersialisasi saat ini adalah kemampuan
simbol-simbol Islam untuk melakukan penetrasi terhadap ekonomi kapitalis
dan menjadikan modus ekonomi tersebut sebagai wahana untuk
memperjual-belikan simbol-simbol agama secara massif. Salah satu kasus
yang menarik adalah jilbab. Semula, jilbab adalah simbol kesalehan
agama. Tetapi saat ini, jilbab bukanlah sekedar simbol kesalehan, tetapi
juga bagian dari “fashion” atau mode. Apakah salah menjadikan pakaian
agama sebagai mode? Tentu saja tidak. Jika ada yang menjadikan batik
sebagai mode, kenapa jilbab tak boleh menjadi mode?
Sektor lain di mana Islam yang telah mengalami komoditisasi
(komodifikasi?) itu melakukan penetrasi terhadap ekonomi kapitalis
adalah perbankan. Saat ini, apa yang disebut sebagai bank Islam atau
bank syariah bukan hal yang aneh lagi. Jasa pelayanan “Islamic finance”
bukan saja disediakan oleh bank yang jelas-jelas menyebut dirinya
sebagai bank syariah, tetapi juga oleh bank-bank konvensional. Bank
Indonesia sebagai otoritas moneter tertinggi di negeri kita juga sudah
menyediakan payung hukum bagi praktek bank Islami ini.
Tak ada perbedaan mendasar antara praktek bank biasa dan bank syariah
kecuali dalam satu hal, yaitu soal bunga. Jika bank konvensional
memungut bunga, maka bank syariah menolak praktek bunga, meskipun ada
sejumlah “kiat” yang dilakukan untuk meraih fee (=bunga?) dengan cara
yang tak bertentangan dengan ajaran Islam.
Praktek bank syariah ini dengan cukup baik memperlihatkan bahwa tak
ada kontradiksi antara Islam dan kapitalisme. Praktek-praktek ekonomi
dan bisnis kapitalistik bisa dimodifikasi begitu rupa oleh aktivis dan
sarjana Muslim untuk menampung sejumlah ajaran Islam. Ini berkebalikan
dengan praktek yang ada pada dekade 50an dan 60an di mana ada upaya dari
banyak kalangan saat itu untuk memodifikasi Islam agar cocok dengan
corak ekonomi sosialistis yang etatistik (melibatkan peran yang besar
dari negara).
Bahkan model pemasaran khas yang disebut dengan MLM (multi-level
marketing) juga diadopsi oleh para praktisi bisnis Muslim. Kita selama
ini mengenal jaringan MLM raksasa seperti Amway atau CNI. Tetapi, kita
juga menjumpai praktek MLM yang memakai merek Islam, seperti Ahad-Net
(dengan tokoh utamanya Ateng Kusnadi) dan MQ-Net yang didirikan oleh
da’i kondang Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym.
Yang menarik, di samping praktek ekonomi kapitalistik yang memakai
merek Islam ini, kita, pada saat yang sama, juga menjumpai sekelompok
aktivis Islam yang mengutuk kapitalisme (juga demokrasi) sebagai praktek
yang mereka anggap berlawanan secara kategoris dengan Islam, seperti
kelompok Hizbut Tahrir, misalnya. Kritik pada kapitalisme tentu bukan
dimonopoli kelompok ini. Kita kerap menjumpai retorika yang
anti-kapitalisme dari sejumlah penulis, da’i, atau penceramah Muslim.
Lepas dari kritik-kritik ini, mulai dari yang keras sampai yang moderat,
fakta memperlihatkan bahwa praktek ekonomi kapitalisme banyak diadopsi
secara nyaris “harafiah” oleh praktisi bisnis Muslim, tentu dengan
melakukan modifikasi seperlunya, plus simbol atau merek Islam (biasanya
memakai istilah Arab).
Apakah pelajaran yang patut diambil dari fenomena komersialisasi atau
komditisasi Islam ini? Ialah berikut ini: bahwa baik modus ekonomi
kapitalisme maupun Islam memperlihatkan kelenturan tertentu untuk saling
menampung. Hubungan antara keduanya tidak sekontradiktoris seperti yang
dikesankan oleh banyak retorika anti-kapitalisme sebagian kalangan
Muslim selama ini.
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Source: Islamlib.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar