Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Kebijakan Pemerintah
Tujuh Kementerian dan Polri menyepakati melindungi dan membina generasi anak Indonesia khususnya anak jalanan (anjal) sehingga negeri ini terbebas dari anak jalanan pada 2014. Tujuh kementerian tersebut antara lain Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM serta Polri. Dimana semua ini mensepakati nantinya akan saling berkoordinasi.
Sementara itu, selama ini pemerintah masih menggunakan metode pendekatan represif untuk mengatasi persoalan ini, yaitu melakukan penggarukan dan menempatkan mereka di rumah singgah. Cara ini tidak menjawab persoalan, malah membawa dampak buruk pada psikologis anak. Bagi sebagian anak jalanan yang pernah ditangkap dan dititipkan di rumah singgah, pengalaman tersebut sama seperti orang yang dipenjara. Jadi, alih-alih rumah singgah bisa menyelamatkan anak jalanan, tempat tersebut justru dianggap layaknya “Hotel Prodeo”
Jika demikian yang dimaksudkan pak Menteri, itu berarti anak jalanan itu bukannya dikurangi atau diselamatkan, melainkan disingkirkan ke kamp-kamp karantina (baca: rumah singgah). Di jalanan memang akan bersih anak jalanan, tetapi rumah singgah seluruh Indonesia akan menjadi semacam kamp konsentrasi jaman Hitler.
Kualitas pelayanan pusat rehabilitasi atau panti sosial selama ini masih rendah. Pendekatan yang dilakukan seperti sipir di penjara, di mana panti hanya menampung dan membina sesuai porsi petugas tetapi tidak memberikan kenyamanan bagi anak. "Di jalan mereka bisa dapat Rp 50.000-100.000 tiap hari, bisa makan kapan saja dan beli apa saja. Ketika masuk panti, mereka harus dibatasi makannya, uang saku dan ruang geraknya. Anak merasa di jalanan lebih baik ketimbang di panti, ya balik lagi dia ke jalanan
Akar Permasalahan
Persoalan anak jalanan di Indonesia berakar dalam relasi ekonomi-politik, yakni sebuah sistem ekonomi yang terus-menerus tidak menyelesaikan masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan pendapatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh ketidaksamaan kesempatan melakukan pengembangan diri, perbedaan antropologi dan disebabkan oleh perbedaan akses dalam modal.
Permasalahan anak jalanan disebabkan berbagai faktor terkait seperti peradigma pembangunan yang sentralistik, gaya hidup individualist materialisitik dan konsumeristik dari kalangan orang dewasa
Banyak anak jalanan berasal dari gangguan faktor keluarga yang diwarnai dengan ketidakharmonisan, baik itu perceraian, percekcokan, hadirnya ayah atau ibu tiri, absen nya orang tua baik karena meninggal dunia maupun tidak bisa menjalankan fungsinya. Hal ini kadang semakin diperparah oleh hadirnya kekerasan fisik atau emosional terhadap anak. Keadaan rumah tangga yang demikian sangat potensial untuk mendorong anak lari meninggalkan rumah.
Jika demikian yang dimaksudkan pak Menteri, itu berarti anak jalanan itu bukannya dikurangi atau diselamatkan, melainkan disingkirkan ke kamp-kamp karantina (baca: rumah singgah). Di jalanan memang akan bersih anak jalanan, tetapi rumah singgah seluruh Indonesia akan menjadi semacam kamp konsentrasi jaman Hitler.
Kualitas pelayanan pusat rehabilitasi atau panti sosial selama ini masih rendah. Pendekatan yang dilakukan seperti sipir di penjara, di mana panti hanya menampung dan membina sesuai porsi petugas tetapi tidak memberikan kenyamanan bagi anak. "Di jalan mereka bisa dapat Rp 50.000-100.000 tiap hari, bisa makan kapan saja dan beli apa saja. Ketika masuk panti, mereka harus dibatasi makannya, uang saku dan ruang geraknya. Anak merasa di jalanan lebih baik ketimbang di panti, ya balik lagi dia ke jalanan
Akar Permasalahan
Persoalan anak jalanan di Indonesia berakar dalam relasi ekonomi-politik, yakni sebuah sistem ekonomi yang terus-menerus tidak menyelesaikan masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan pendapatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh ketidaksamaan kesempatan melakukan pengembangan diri, perbedaan antropologi dan disebabkan oleh perbedaan akses dalam modal.
Permasalahan anak jalanan disebabkan berbagai faktor terkait seperti peradigma pembangunan yang sentralistik, gaya hidup individualist materialisitik dan konsumeristik dari kalangan orang dewasa
Banyak anak jalanan berasal dari gangguan faktor keluarga yang diwarnai dengan ketidakharmonisan, baik itu perceraian, percekcokan, hadirnya ayah atau ibu tiri, absen nya orang tua baik karena meninggal dunia maupun tidak bisa menjalankan fungsinya. Hal ini kadang semakin diperparah oleh hadirnya kekerasan fisik atau emosional terhadap anak. Keadaan rumah tangga yang demikian sangat potensial untuk mendorong anak lari meninggalkan rumah.
Stigma Negatif Anak Jalanan
Kita sering melihat anak jalanan (anjal) berkeliaran di stasiun, terminal, halte, bus, perempatan lampu merah, taman, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat umum lainnya.
Anak jalanan ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di jalan dengan cara mengamen, memulung, menjadi tukang sapu di kereta, dan bahkan juga menjadi pengemis. Tentunya, mungkin sebagian masyarakat akan langsung mempunyai pemikiran yang negatif terhadap mereka saat melihat penampilan, pekerjaan yang dilakukan, atau bahkan gaya hidup mereka.Selain itu, mereka juga rentan akan menjadi pelaku kriminal dikarenakan kondisi sesama anak jalanan yang sudah saling bersaing. Anjal ini nantinya akan belajar berbagai tindakan kriminal kepada seniornya.
Razia Anak Jalanan
Kita sering melihat anak jalanan (anjal) berkeliaran di stasiun, terminal, halte, bus, perempatan lampu merah, taman, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat umum lainnya.
Anak jalanan ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di jalan dengan cara mengamen, memulung, menjadi tukang sapu di kereta, dan bahkan juga menjadi pengemis. Tentunya, mungkin sebagian masyarakat akan langsung mempunyai pemikiran yang negatif terhadap mereka saat melihat penampilan, pekerjaan yang dilakukan, atau bahkan gaya hidup mereka.Selain itu, mereka juga rentan akan menjadi pelaku kriminal dikarenakan kondisi sesama anak jalanan yang sudah saling bersaing. Anjal ini nantinya akan belajar berbagai tindakan kriminal kepada seniornya.
Razia Anak Jalanan
Anak jalanan tidak perlu dirazia karena mereka bukan sumber masalah. Keberadaan anak jalanan di setiap persimpangan jalan merupakan fenomena, gejala tentang gambaran nyata kondisi kemiskinan suatu kota dan gambaran kemiskinan bangsa kita. Penanganan anak jalanan harus dilakukan secara profesional. Jika tidak, itu berpotensi terjadinya generasi yang hilang.
Razia aparat kepolisian terhadap anak jalanan tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan karena razia justru melanggar privasi dan hak-hak anak. Upaya peningkatan kesejahteraan anak jalanan tidak bisa dilakukan dengan pendekatan kriminal dan mengerahkan aparat keamanan karena anak jalanan bukan penjahat.
Razia aparat kepolisian terhadap anak jalanan tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan karena razia justru melanggar privasi dan hak-hak anak. Upaya peningkatan kesejahteraan anak jalanan tidak bisa dilakukan dengan pendekatan kriminal dan mengerahkan aparat keamanan karena anak jalanan bukan penjahat.
Penanganan Anak Jalanan
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Hadi Supeno berpendapat : ”Razia dengan melibatkan polisi, tentara, atau petugas keamanan dan ketertiban tidak diperbolehkan, cukup pekerja sosial yang profesional, psikolog, dan dokter. Potensi kekerasan sangat kuat kalau aparat keamanan terlibat”.
Penanganan anak jalanan akan lebih baik apabila dilakukan dengan cara-cara yang lebih santun, elegan, dan tanpa melanggar hak anak. Konteks penanganannya pun bukan pada persoalan keamanan atau ketertiban, melainkan pada perlindungan dan peningkatan kesejahteraan anak.
Berdasarkan UUD 1945 pasal 34, anak terlantar dipelihara oleh negara. Artinya, pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dan Keputusan Presiden RI No 36 tahun 1990 tentang pengesyahan Convention, of the Rights of Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) juga menegaskan bahwa anak-anak mempunyai hak-hak yang kurang lebih sama dengan hak-hak asasi manusia. pada umumnya. Sehingga mereka berhak hidup layak dan manusiawi. Hal ini berarti pemerintah wajib menyelenggarakan lembaga penanganan anak jalanan yang layak dan manusiawi. Pemerintah RI harus mengambil peranannya sebagai regulator dengan pengalokasian dana, fasilitas pelayanan hingga penyediaan fasilitas penanganan anak jalanan yang optimal dan efektif. Sebuah model penanganan yang kongkret, sistematik, dan komprehensif. Sebagaimana pemerintah telah menfasilitasi penanganan anak-anak yang 'sehat' dengan sistem pendidikan nasional maka perlu disusun sistem penenganan anak
Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak juga menilai pemerintah dalam hal anjal ini harus menanganinya secara holistik, dengan mencari tahu kebutuhan apa yang diperlukan para anjal. “Pemerintah selain memenuhi sandang- pangan anjal juga harus menjawab problematika mendasarnya,” tambahnya.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam penanganan anjal juga harus dirubah dari pendekatan kriminal (penangkapan anjal kemudian dikirim ke panti), menjadi pendekatan hati (pendekatan yang dilakukan melalui rumah singgah kepada anjal). Tidak hanya itu, pemerintah harus menangani secara komperhensif dengan memikirkan bagaimana program harus berjalan dengan baik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar