Pesta demokrasi sudah berjalan, fakta di lapangan membuktikan
bahwa Caleg yang memberi uang lebih memperoleh dukungan dari masyarakat. Sebaliknya, caleg yang memberi
pas-pasan atau mau lurus-lurus saja tanpa politik uang, tak kebagian suara.
.
Bayangkan, ketika seorang Caleg mulia, dengan visi misi yang brilian, hadir di masyarakat menyampaikan segala
cita-cita luhurnya soal bangsa ini, kemudian harus tergusur oleh Calon tak dikenal hanya bermodalkan uang semata. Ini menjadi potret buram,bukan saja
rusaknya moral para caleg kita, tetapi wujud hancurnya moral masyarakat kita.
Masyarakat sudah menanam stigma buruk Anggota Dewan sebagai
pemakan uang rakyat, tanpa sadar bersikap uang caleg harus ditarik kembali oleh rakyat. Ada pula yang beralasan daripada tidak dapat apa-apa,
dan setelah itu Anggota Dewan yang telah mendapat kursi juga tidak kenal siapa saja yang telah berjasa, maka
menolak pemberian uang saat pemilu menjadi sebuah sikap yang menyia-nyiakan rejeki.
Jadi, tidak penting visi dan misi, atau pun pertimbangan karakter seorang Caleg, tapi
berapa besar uang yang bisa diberikan Calon kepada pemilih. Jadi ketika pada
akhirnya masyarakat memilih calon yang memberi mereka uang, Rp.50 ribu atau
Rp.100 ribu, sesungguhnya mereka telah memilih seorang pemakan uang rakyat menjadi wakil mereka.
Kekuatan uang Caleg mampu menjungkirbalikkan survei minat pilihan terhadap partai sebelum pemilu, sebuah partai boleh bercitra hancur atau sebaliknya terlihat partai bersih dengan populeritas tertinggi, semuanya tidak berarti apabila tiap caleg tingkat kabupaten menggerakkan Kordes dan Korlap dengan bekal amunisi penuh. Jadi inti kemenangan pemilu terletak bagaimana pengurus partai mampu menjual bakal kursi kepada kader karbitan yang punya modal kapital melimpah untuk rajin blusukan menebar amplop uang recehan.
Kalau sudah demikian suara dapat dibeli, maka siapapun yang memiliki kapital kuat dapat membeli suara untuk melancarkan kepentingan strategis, para kapitalis bisa saja memborong mayoritas kursi anggota legislatif dari berbagai partai di sebuah kabupaten. Tidak menutup kemungkinan pihak asing dengan ideologi berbeda bisa saja membeli parlemen Indonesia melalui tangan-tangan makelar politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar adalah proyeksi pemahaman. Orang paham pasti bisa komentar