Irjen Pol
Djoko Susilo adalah lulusan Akpol Angkatan 1984 yang pertama mendapatkan
pangkat Brigjen dan Irjen dibandingkan rekan-rekan seangkatannya.
Usianya belum mencapai lima puluh tahun dan karirnya melesat cepat
memegang posisi elit sebagai Gubernur Akpol. Djoko Susilo adalah mantan
Kapolres Jakarta Utara. Pernah heboh sesaat ketika dia bangun kantor
Polres tanpa memakai dana APBN.
Djoko Susilo adalah perwira langka
di Polri. Dikenal sebagai The Rising Star, Djoko pandai dalam hal
menggalang dana taktis untuk keperluan Polri yang tidak dianggarkan
dalam APBN. Dia membangun kantor Dirlantas dan mengganti kendaraan dinas
tanpa menggunakan dana APBN. Djoko juga mendatangkan puluhan sepeda
motor Harley Davidson bagi Subdit Patwal dan Brigade Motor. Djoko Susilo
juga membangun Trafick Management Centre Polda Metro Jaya, gedung
Samsat hingga gedung utama Kapolda Metro.
Selepas lulus dari Akpol pada 1984,
Djoko bertugas pertama kali sebagai Pama PD di Polda Jateng. Selanjutnya
Djoko berturut-turut menjabat sebagai Pamapta Polres Purbalingga,
Kapolsek Wonoreja Polres Cilacap, Kasatlantas Polres Banyumas dan Kasat
Lantas Polresta Surakarta dan sejak saat itu karirnya terus menanjak
drastis. Karirnya lama di Dirlantas. Dari Dirlantas Polda Metro, Djoko
Susilo dipromosikan langsung menjadi Dirlantas Polri dengan pangkat
Brigjen menggantikan Brigjen Yudi Susharianto. Prestasinya luar biasa
dasyat.
Djoko Susilo adalah Perwira di
jajaran Kepolisian yang pertama kali merintis TMC Polda Metro dan
pemasangan CCTV di seluruh pusat kota Jakarta. Djoko juga yang pertama
kali menggagas Polisi Masyarakat (Polmas). Djoko Susilo adalah seorang
Perwira yang istimewa, pernah mendapat beberapa penghargaan dari
Presiden SBY. Djoko Susilo juga pernah dianugerahi penghargaan Inovasi
Citra Pelayanan Prima I dan II serta penghargaan Bintang Bhayangkara
Pratama.
Djoko Susilo sebelumnya dikenal
sebagai anak emasnya Kapolri yang terdahulu, Bambang H. Danuri (BHD).
Selain anak emas mantan Kapolri BHD, Djoko juga sangat dekat dengan
Wakapolri Nanan Sukarna. Sebagai anak emasnya BHD, dimasa terakhir BHD
menjabat Kapolri, Ditlantas Mabes Polri dinaikkan levelnya oleh BHD
menjadi Korp Lantas Polri (Korlantas).
Saat itu posisi Direktur Lantas
Mabes Polri dijabat Djoko Susilo dengan pangkat Brigjen setelah
sebelumnya Djoko menjabat sebagai Wakil Direktur dengan pangkat Kombes.
Kapolri BHD menaikkan pangkatnya menjadi Bintang Dua (Irjen) seiring
dengan naiknya Level Ditlantas Polri menjadi Korlantas Polri.
Djoko Susilo mengikuti Sespati
bersama I Ketut Untung Yoga Ana dan Edward Aritonang. Djoko Susilo
adalah seorang yang cemerlang dan cerdas. Dia lulus dengan predikat
sebagai siswa terbaik di Sespati, sehingga dipromosikan langsung sebagai
Wadirlantas Mabes Polri. Belum satu bulan menjabat, Djoko
Susilo langsung naik jabatan sebagai Dirlantas Polri dengan pangkat
Bintang Satu.
Dengan posisi terakhir sebagai
Gubernur Akpol, usia pensiun Djoko masih delapan tahun lagi, artinya
posisi Wakapolri atau minimal Bintang Tiga akan mudah diraih. Meskipun
mustahil bisa mendapatkan posisi puncak sebagai Kapolri, Irjen Pol Djoko
Susilo pasti bisa menjadi salah satu jajaran pimpinan di Mabes Polri.
Irjen Pol Djoko Susilo sulit jadi Kapolri karena dia belum pernah
menduduki posisi Kapolda tipe A. Hal ini juga pernah dialami Komjen Imam
Sujarwo yang dulu gagal jadi Kapolri karena sebab yang sama.
Hubungan Djoko Susilo dengan Kapolri
Timur Pradopo tidak harmonis. Timur Pradopo tidak begitu menyukai Djoko
Susilo yang dinilainya sangat mengakar kuat di kalangan jajaran
Lalulintas Polri. Selain itu, Djoko Susilo juga dikenal sebagai orangnya
Wakapolri, Nanan Sukarna. Djoko Susilo merupakan penggerak utama tim
sukses Nanan Sukarna. Djoko Susilo menggalang dukungan khususnya di
Korlantas dan elemen lainnya di kepolisian, DPR, kalangan Pers, dan
LSM-LSM yang berpengaruh.
Djoko Susilo bersama Wakapolda Bali,
I Ketut Untung Yoga Ana, dan Kapolda Jateng, Edward Aritonang, dikenal
sebagai tiga Serangkainya Nanan Sukarna. Solidaritas mereka sangat kuat
dan bertambah erat persahabatan mereka disaat ketiganya menjalani
pendidikan Sespati (Sekolah Staf Perwira Tinggi) empat tahun yang lalu.
Dikalangan Pers, Djoko Susilo juga
dikenal sebagai petinggi Polri yang ramah. Djoko dekat dengan wartawan,
khususnya di kalangan Pers yang biasa meliput bidang Hukum dan Kriminal.
Karena selain Djoko murah hati, juga senang bersahabat dengan kalangan
pekerja Pers. Kedekatan Djoko dengan Wartawan sudah dilakukan sejak
dirinya menjabat sebagai Kabag Regident Ditlantas Polda Metro dengan
pangkat AKBP, kemudian menjadi Kapolrestro Bekasi, Kapolres Jakarta
Utara, Dirlantas Polda Metro, Wadirlantas Mabes Polri, Dirlantas Mabes
Polri hingga Kakorlantas Polri dengan pangkat Bintang Dua.
Saat Djoko Susilo menjabat Gubernur
Akpol, cukup banyak wartawan di Jakarta, termasuk Penulis, yang
mengunjunginya ke Semarang untuk Silahturahmi. Djoko tidak pernah
memilih-milih dalam menjalin pertemanan dengan wartawan dan selalu
diterima hangat oleh Djoko dengan tangan terbuka. Dengan ditetapkannya
status tersangka oleh KPK, merupakan sebuah tamparan telak bagi Wartawan
yang telah menjalin hubungan baik dengan Djoko Susilo selama ini.
Djoko juga dikenal sebagai Perwira
Polisi yang suka membangun. Kecintaannya dalam hal pembangunan terlihat
sejak menjabat Kapolres Kota Bekasi dan Kapolres Jakarta Utara. Djoko
Susilo yang membangun gedung Polres sehingga terlihat megah. Begitu pula
ketika Djoko menjabat Direktur Lalulintas Polda Metro, Djoko membangun
gedung Direktorat Lalulintas sehingga terlihat begitu megah, yang
dikemudian hari dikenal sebagai Gedung Biru.
Salah satu keberhasilan dan
kesuksesan Djoko Susilo yang paling mencolok adalah pada saat menjabat
Wadirlantas dan Dirlantas Mabes Polri. Saat itu Djoko mengamankan
kepentingan tugas dan wewenang Polri ketika RUU Lalulintas dan Angkutan
Jalan (RUU LLAJ) yang digodok di DPR pada Januari hingga Mei 2009 silam
dimana dalam Draft RUU LLAJ yang diajukan Kementerian Perhubungan,
disebutkan bahwa dalam salah satu pasalnya akan mengambil alih proses
pembuatan SIM, STNK, dan BPKB menjadi salah satu tugas dan wewenang
penuh Kementerian Perhubungan. Tentu saja Polri meradang dengan pasal
tersebut karena lahan mereka direbut Dishub. Sebab dalam hal SIM, STNK,
dan BPKB, Polri mendapat pasokan “darah segar” setiap hari dalam
operasionalnya termasuk menggemukkan pundi-pundi kekayaan para petinggi
Polri.
Sebagai informasi, uang suap dan
pungli yang diperoleh dari SIM, STNK, BPKB, Mutasi, Balik Nama,
pemesanan Nopol cantik, Nopol khusus, dan Nopol blank bebas pajak,
termasuk cek fisik, khusus hanya di Polda Metro saja menerima sekitar Rp
2 milyar setiap harinya. Coba Anda hitung di 33 Direktorat Lalulintas
Polda yang tersebar di seluruh Indonesia.
Menyikapi wacana Kementrian
Perhubungan tersebut, Tim khusus pun segera dibentuk Polri, yang
dipimpin langsung oleh Djoko Susilo yang pada saat itu menjabat sebagai
Direktur Lalulintas Mabes Polri untuk menggagalkan rencana Kementerian
Perhubungan. Djoko Susilo dibantu Edward Aritonang yang menjabat Kepala
Divisi Humas Mabes Polri, dan I Ketut Untung Yoga Ana yang menjabat
sebagai Kabag Penerangan Umum Mabes Polri. Gerilya lobby tingkat tinggi
serta berbagai upaya dan usaha pun dilakukan untuk menghalalkan segala
cara, termasuk melobby anggota DPR khususnya jajaran Komisi III yang
membawahi Kepolisian dan jajaran Komisi V yang membawahi Dinas
Perhubungan. Tidak sedikit dana yang digelontorkan untuk mengamankan
wewenang Polri dalam lalulintas tersebut.
Upaya dan usaha Djoko tidak sia-sia.
Dia berhasil menggagalkan keinginan Kementrian Perhubungan pada saat
itu. RUU LLAJ disahkan pada minggu keempat bulan Mei 2009 dimana Polri
tetap memegang wewenang penuh terhadap SIM, STNK dan BPKB, serta
wewenang tidak terbatas lainnya terkait lalu lintas.
Saat sedang hebohnya RUU LLAJ pada
saat itu, di saat yang bersamaan, mencuat kasus pembunuhan Direktur PT.
RNI, Nazrudin Zulkarnaen, yang tewas ditembak. Ketua KPK, Antasari
Azhar, yang saat itu sedang gencar-gencarnya menyadap hubungan HP para
petinggi Polri akhirnya diseret ke penjara karena menjadi tersangka
utama pembunuhan. Jika saja pada saat itu Antasari Azhar tidak terlibat
masalah cinta segitiga sehingga timbulnya korban jiwa, sudah pasti akan
banyak para petinggi Polri dan anggota DPR yang dijebloskan ke Penjara
karena terlibat transaksi jor-joran dalam proses tarik ulur RUU LLAJ
itu.
Selanjutnya, ketika Djoko menjadi
Korlantas dan Timur Pradopo menjabat Kapolda Metro Jaya, benih-benih
ketidak sukaan Timur kepada petinggi-petinggi jajaran Lalulintas Polri
terlihat dengan jelas ketika pengganti Djoko sebagai Direktur Lalulintas
Polda Metro Jaya, Kombes Condro Kirono digantikan Kombes Royke Lumowa.
Nanan, Djoko, dan Condro sebenarnya
sudah punya calon pengganti sendiri dari jajaran Dirlantas Polda Metro
Jaya, akan tetapi justru yang tiba-tiba muncul adalah Royke Lumowa yang
diduga kuat sebagai orang titipan Cikeas, karena isterinya Royke adalah
Dokter Tentara dari Kowad yang merupakan salah satu anggota tim
kedokterannya Ibu Ani Yudhoyono.
Selain itu, salah satu pemicu
ketidaksukaan Timur Pradopo terhadap Djoko Susilo yaitu karena Djoko
Susilo mau menerima kenaikan pangkat Bintang Dua dari Kapolri BHD.
Sebelumnya Timur Pradopo sudah mewanti-wanti dan meminta Djoko agar mau
menjadi Staf Ahlinya (Sahli) kalau dirinya menjabat Kapolri nantinya.
Tapi Djoko berpikir lain, kesempatan harus segera diambil, dan Djoko
tahu yang paling bagus potensinya menjadi Kapolri nantinya adalah Nanan
Sukarna. Namun nasib berkata lain dan dugaan Djoko Susilo meleset,
justru Timur Pradopo yang terpilih menjadi Kapolri.
Demi menjaga citranya di mata
Cikeas, dan juga karena ketidaksukaannya kepada Djoko Susilo, Timur
Pradopo diketahui paling pantang menerima upeti dari jajaran Lalulintas
Polri yang dipimpin Djoko Susilo. Persoalan lain juga muncul ketika
Djoko menolak sistem Inafis Bareskrim (Proyek Komputerisasi IT Sidik
Jari) dimasukkan sebagai program terpadu dalam proses pengambilan
identitas bagi peserta SIM. Djoko Susilo berdalih bahwa program alat
Simulator pada proses pengambilan SIM harus tetap jalan terus. Program
Inafis silakan dilakukan sendiri oleh Reserse (Bareskrim). Jangan
dicampur baurkan program identitifikasi pada Inafis dengan SIM.
Program Inafis tersebut ditolak
mentah-mentah oleh Djoko karena pada saat itu Djoko sedang memerlukan
dana taktis yang cukup besar untuk membangun Nasional Traffic Management
Center (NTMC) Korlantas Polri di samping TMC Polda Metro Jaya yang juga
dibangun oleh Djoko Susilo. Selain itu, Djoko sudah terlanjur
mempresentasikan sistem Simulator Ujian SIM dihadapan Presiden SBY dan
Ibu Ani Yudhoyono dalam peringatan Hari Konsumen di TMII. Hal ini
membuat Timur Pradopo kesal. Tetapi skenario gaya “Mossad” tetap harus
dijalankan. Walaupun tidak cocok dengan Djoko Susilo, Timur Pradopo
merestui Djoko menduduki jabatan Gubernur Akpol yang dilantiknya pada
tanggal 2 Maret 2012 lalu menggantikan, Irjen Drs M Amin Saleh. Apakah
ini jebakan? Mari kita baca lebih lanjut.
Kapolri Timur Pradopo akan pensiun
pada 10 Januari 2013 mendatang disaat umurnya 57 tahun. Siapakah
kandidat pengganti Timur Pradopo? SBY berharap penggantinya Timur adalah
orang muda yang berprestasi gemilang, cerdas, santun, dan yang paling
utama adalah selain dapat mengamankan Pemilu 2014 juga dapat
mengendalikan Polri setelah SBY lengser dari jabatannya sebagai orang
nomor satu di negeri ini.
Siapakah calon kuat tersebut?
Pilihan saat ini hanya ada pada dua orang, Kapolda Jawa Barat, Irjen
Putut Bayu Eko Seno, yang disukai Timur Pradopo karena pernah menjadi
Ajudan Presiden SBY, dan Djoko Susilo, perwira andalan besutannya Nanan
Sukarna. Sama-sama Akpol angkatan 1984. Keduanya baru akan pensiun dari
Polri pada tahun 2018 nanti, yaitu empat tahun setelah Pemilu 2014 atau
setahun menjelang Pemilu 2019.
Djoko Susilo sangat memenuhi
kriteria namun kendala yang dihadapi Djoko Susilo yaitu dia belum pernah
memegang komando kendali wilayah setingkat Polda Tipe A. Djoko
Susilo harus menjadi Kapolda dulu baru selanjutnya layak mendapatkan
Bintang Tiga sehingga dalam pencapaian karirnya tinggal selangkah lagi
menjadi Kapolri.
Timur Pradopo yang hanya dalam
hitungan lima bulan ke depan sudah masuk Masa Persiapan Pensiun (MPP)
tidak rela kalau pengganti sementaranya adalah Nanan Sukarna. Oleh Timur
Pradopo, Nanan dianggap sebagai salah satu sisa kelompoknya Dai
Bachtiar, dimana Nanan menjabat Wakapolda Metro Jaya pada tahun
2003-2004 ketika Kapolda-nya dijabat Makbul Padmanegara.
Timur Pradopo tahu kedepannya Nanan Sukarna pasti akan memuluskan Djoko
Susilo menjadi Kapolri. Selain itu, Timur Pradopo tidak rela jika tampuk
pimpinan Kapolri nantinya dpegang oleh jajaran Lalulintas Polri. Hal
ini dapat terlihat saat Mutasi besar-besaran di kalangan Pamen dan Pati
ketika awal-awal Timur menjabat Kapolri
Timur Pradopo tahu tentang kasus Simulator SIM, dan menolak
mentah-mentah upeti yang disodorkan Djoko Susilo. Timur juga tahu soal
pemukulan terhadap Bambang Sukotjo. Timur tahu Suntukojo dijebloskan ke
penjara lewat pengadilan Bandung Jawa Barat. Timur juga tahu upaya naik
banding Suntukojo justru berbuah kenaikan jumlah hukuman yang diterima
Suntukojo. Sebagai seorang pimpinan tertinggi, Timur tahu segala sesuatu
dan intrik-intrik yang terjadi dalam Bahtera Kepolisian yang
dinakhodainya.
Namun Timur Pradopo belum mau
mengambil sikap. Timur Pradopo menunggu gong yang dibunyikan KPK. Itulah
sebabnya setelah penetapan Djoko Susilo sebagai tersangka, Polri
bergerak “sangat cepat” melakukan penanganan perkara.
Djoko yang sudah masuk Jebakan Batman saat ini harus menerima resiko terburuk dalam sejarah karirnya di Kepolisian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar adalah proyeksi pemahaman. Orang paham pasti bisa komentar