Seorang presiden Afrika diundang makan malam ke
rumah presiden Prancis, Charles de Gaulle. Diakhir jamuan para pelayan
membawakan mangkuk kecil berisi air hangat untuk setiap tamu. Mangkuk
itu adalah mangkuk cuci tangan untuk membersihkan tangan mereka. Namun
tamu dari Afrika tidak mengetahui hal ini karena di Afrika tidak ada
kebiasaan seperti itu. Ia mengira mangkuk kecil itu berisi minuman.
Maka Ia pun meminum habis isi mangkuk itu.
Di meja itu beberapa orang tersenyum. Mereka sangat
terhibur dengan kesalahan konyol ini. Tapi de Gaulle, dengan nada
berwibawa mengangkat mangkuknya dan berkata, "Tuan-tuan mari
bersulang!" Kemudian ia meminum air yang ada di mangkuk cuci tangannya
dan orang-orang yang tadi mengolok-olok segera mengikutinya. Berkat
tindakan de Gaulle, tamu dari Afrika itu tidak "kehilangan muka". De
Gaulle baru saja memberi pelajaran berharga mengenai menjaga perasaan.
Ya, menjaga perasaan adalah sebuah perbuatan mulia
yang patut dimiliki oleh siapa pun khususnya oleh para pemimpin.
Sayangnya masih banyak kejadian-kejadian yang justru menunjukan hal
yang sebaliknya. Demi terlihat hebat, tidak sungkan-sungkan sang
pemimpin mempermalukan bawahannya di depan umum. Beberapa waktu yang
lalu saya pernah melihat sebuah kejadian menarik di televisi, yaitu
ketika seorang pemimpin yang sedang pidato menegur tamunya karena
tertidur saat Ia sedang berbicara. Tentu saja ia nampak hebat karena
tegas dan berwibawa. Tapi saya jamin, bagi orang yang ditegur adalah
kejadian memalukan yang tak akan terlupakan sepanjang hidupnya. Kalau
saja tujuannya adalah untuk mendisiplinkan bawahannya, bukankah Ia bisa
menegurnya langsung tidak dihadapan banyak orang termasuk penonton
televisi?
Dalam lingkup dunia kerja,
prinsip menjaga perasaan ini penting sekali untuk dilakukan. Ini semata
bukan hanya untuk kepentingan subjektif, melainkan juga sebagai bentuk
penghormatan kita pada Tuhan melalui mahkluk ciptaan-Nya. Mereka semua
adalah kesayangan Tuhan yang harus dijaga perasaannya. Mereka bisa
berperan sebagai apa saja. Bisa sebagai atasan, bawahan, nasabah, mitra
kerja, pelanggan, bahkan pesaing.
Pada dasarnya, orang-orang yang hadir dalam kehidupan kita adalah
“tamu” utusan Tuhan yang harus di layani dengan baik dan dijaga
perasaannya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa di kehidupan ini
berlaku Hukum Sebab Akibat. Hukum ini menyatakan bahwa setiap akibat
pasti ada sebabnya, dan setiap sebab pasti mempunyai akibat. Segala
sesuatu yang merupakan "sebab" sebenarnya adalah "akibat" dari sesuatu
yang ada sebelumnya. Dan "akibat" tersebut menjadi "sebab" dari sesuatu
yang lain. Tidak mungkin memulai rangkaian peristiwa yang "baru". Semua
agama dan filsafat berbicara tentang Hukum
Sebab Akibat dengan bahasa yang berbeda-beda. Pada prinsipnya hukum ini
mangungkapkan bahwa, Jika Anda menanam pohon kebaikan, kelak akan
memetik buah kebaikan. Jika Anda menanam pohon keburukan, kelak Anda
pun akan memetik buah keburukan. Itu berarti, jika kita menjaga
perasaan orang lain, maka perasaan kita pun juga akan dijaga Tuhan.
Pembaca yang baik, Mari kita selalu berusaha menjaga
perasaan siapa pun, bukan semata karena mengetahui ada keuntungan dari
Hukum Sebab Akibat seperti yang sepintas kita bahas di atas, melainkan
karena bentuk penghambaan kita pada Yang Maha Kuasa dan juga sebagai
keberpihakkan kita pada sisi jiwa kita yang baik, yang diliputi cahaya
cinta kasih. Rawat dan jagalah perasaan mereka dengan ketulusan tanpa
batas.
Sigit Risat
Motivator and Career Coach JobsDB.com
Motivator and Career Coach JobsDB.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar adalah proyeksi pemahaman. Orang paham pasti bisa komentar