Seorang teman mengirimkan cerita ini. Ada berbagai macam binatang bersahabat lalu mereka pergi ke sekolah. Ketika pelajaran renang si kura-kura dengan semangat dia berenang dengan tenang. Dia mencapai garis akhir dan mendapat pujian luar biasa. Tapi si kelinci dia kelejotan, berteriak-teriak dia gagal berenang, demikian juga si burung. Dia menjadi kedinginan dan lari ketakutan. Maka si guru mulai marah dengan si kelinci, “Dasar Kelinci autis! Lompat-lompat terus, tidak mau belajar!”
Tak lama kemudian kelompok binatang yang bersahabat ini belajar berlari. ”Wah, kelinci menjadi juara, namun si kura-kura dimarahi “Kamu ini si pemalas. Kamu ini lambat, lelet, tidak ada masa depan!” Maka si kura-kura pun stres. Demikian juga ketika berganti pelajaran melompat dari tempat yang tinggi “Wah si burung senang sekali, karena dia melompat bahkan melayang-layang. Sapi dan gajah ketakutan karena badannya gemuk, dia jatuh akan susah bangun dan berdiri lagi. Maka dia dimarahi dikatakan “si gendut dan si rakus” Maka sapid an gajah pun stres.
Nah, kenapa masing–masing menjadi stres? Padahal sebenarnya mereka tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah kurikulum yang mereka ikuti yang mengharuskan binatang belajar berenang, belajar melompat, belajar terbang dan belajar berlari. Padahal setiap binatang punya ciri khas, cara bergerak sendiri-sendiri. Ini hanya iliustrasi, tapi kadang-kadang kasus serupa terjadi pada anak-anak kita. Tiap anak belajar semua hal yang sama. Maka ada anak yang mendapat label si hiperaktif, si lamban, si bodoh, si nakal dan sebagainya. Padahal belum tentu demikian, karena setiap anak punya cara belajar sendiri, kecerdasan sendiri. Kecerdasan aspeknya banyak, setiap anak tidak harus pandai di setiap aspek.
Ada anak yang punya kecerdasan kinestetik yang bagus. Dia punya kepandaian menggerakkan tubuhnya dengan tepat. Dia bisa menjadi olahragawan yang hebat. Dia bisa menjadi juara, tapi dalam bidang lain dia juga dituntut harus pandai juga. Padahal belum tentu dia pandai secara matematika. Anak yang lain mungkin punya kecerdasan interpersonal yang bagus. Dia pandai bergaul, tapi dia punya kelemahan dalam matematika. Kalau kita cap anak seperti ini “anak bodoh”, dia akan stres dan tertekan. Padahal kalau kita mengerti bahwa setiap anak memang unik, anak yang punya kepandaian bergaul,mungkin bisa menjadi marketing yang luar biasa. Mungkin dia bisa menjadi pedagang, dengan relasi yang luas. Soal menghitung bukankah ada kalkulator, komputer yang dengan sangat praktis bisa membantu si pedagang menghitung-hitung yang memang juga tidak perlu serumit yang harus dia pelajari. Seperti kalkulus, integritas, integral dan sebagainya yang membuat anak pusing tujuh keliling. Karena itu rupanya kurikulum sekolah-sekolah harus lebih diberikan perhatian pada keunikan setiap anak. Setiap anak sebenarnya cerdas hanya cerdasnya berbeda-beda.
Salah satu manfaat tes analisa sidik jari adalah dapat menjadi referensi bagi orang tua untuk lebih mengenali “kecerdasan” putra putrinya. Sehingga tidak akan ada label negative yang diberikan ataupun tuntutan yang berlebihan yang membuat anak menjadi stress. Sehingga si cerdas interpersonal yang lemah di matematika akan lebih dipahami dan dikembangkan kecerdasan interpersonalnya. Sedangkan di cerdas kinestetik dapat diberi kesempatan di bidang olahraga ataupun di bidang tarian. Dengan demikian orang tua dapat mengarahkan anak-anaknya di bidang yang tepat, sehingga potensi mereka dapat tergali dengan maksimal.
realita x kecerdasan adalah milik individu yang berbeda dengan individu lainnya, tinggal kita bagaimana mengasahnya, ya Pak
BalasHapusNice share sob ... :)
BalasHapussemoga kita semua termasuk dalam orang yang cerdas, salam kang . . .
BalasHapusTerima kasih kunjungan komentarnya
BalasHapusNah, kasus seperti ini pernah saya lihat dalam film yang berjudul "I;m not stupid too" itu film recommended banget. Jadi pada intinya kita sebagai pengajar / yang lebih dewasa seharusnya fokus kepada kelebihan sang anak. Tidak memaksakan sesuatu yang di luar kemampuannya. :D
BalasHapus