. Full Day School, Berkaca dari Pendidikan Pesantren

Full Day School, Berkaca dari Pendidikan Pesantren

Saat ini sedang ramai dibicarakan tentang sekolah sepanjang hari (full day school). Ada yang pro dan banyak pula yang kontra. Hal ini dipicu oleh ide yang disampaikan oleh Mendikbud Muhadjir Effendy yang akan memberlakukan kebijakan full day school pada jenjang SD dan SMP. Tujuannya adalah membangun karakter peserta didik sesuai dengan visi Nawacita yang diprogramkan oleh Presiden Joko Widodo. 


Dibalik pro dan kontra tentang masalah tersebut, konsep full day school (FSD) bukanlah sebuah konsep yang benar-benar baru. De facto, cukup banyak sekolah utamanya sekolah-sekolah berasrama (boarding school)yang melakukannya. Biasanya sekolah-sekolah swasta dengan biaya yang cukup mahal. 

Jauh-jauh hari, FDS juga telah dilaksanakan di lingkungan pesantren. Ada yang sekolah sambil mesantren, dan ada yang mesantren tok.Sekolah sambil mesantrenmaksudnya pagi sampai dengan siang sekolah, dan sore atau malam dilanjutkan dengan mengaji di pondok. 

Pada santri-santri di pesantren salafiah,mereka ada fullmempelajari kitab kuning, atau juga pada pesantren yang terpadu, selain belajar kitab kuning, juga belajar sejumlah keterampilan yang akan menjadi bekalnya di masyarakat pasca keluar dari pesantren. Misalnya diberikan keterampilan bertani, beternak, berkebun, menyablon, membuat kaligrafi, dan sebagainya. 

Jika dulu, ketika lulus dari pesantren, seorang santri pada umumnya menjadi ustadz dan mengelola majelis taklim di lingkungan masyarakat, tetapi saat ini, lulusan pesantren tidak selalu identik dengan menjadi pemuka agama. Bisa saja dia menjadi PNS, anggota TNI, Polri, petani, wirausaha, atau pekerjaan lainnya. Walau demikian, pendidikan pesantren menjadi fondasi dalam melaksanakan pekerjaannya. 

Kembali kepada urusan FDS, sebenarnya hal ini bukan hal yang  terlalu dikhawatirkan, walau implementasinya perlu memperhatikan kondisi sekolah, kondisi siswa, kondisi lingkungan, dan kebijakan pemerintah daerah. FDS tidak hanya diidentikkan dengan belajar sejumlah pelajaran, tetapi juga bisa saja belajar hal lain di luar pelajaran yang bermanfaat untuk membentuk karakter siswa. Kegiatan belajar bukan hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi di luar kelas. 

Di pesantren yang berlokasi di kampung, pada saat pagi hari setelah mengaji, para santri pergi ke sawah atau ladang, membantu sang kiai mencangkul atau merawat tanaman. Dalam konteks pendidikan, kegiatan tersebut adalah sebuah proses pendidikan bagi para santri khususnya pengetahuan dan cara bertani. Para santri pun diberikan sarana untuk menyalurkan hobinya seperti berolah raga, bermain marawis atau seni musik islami. 

Belajar melalui praktek langsung, para santri memperoleh ilmu dan keterampilan yang sangat berharga bagi mereka, kecakapan hidupnya (life skill) semakin terasah. Setelah beres mencangkul di sawah pada siang hari, lalu para santri pulang ke pondok, shalat duhur, istirahat sejenak dan siap-siap mengaji di sore hari, bahkan kadang disambung pada  malam hari. 

Begitulah proses belajar di pesantren. FDS di pesantren memang telah dipersiapkan dengan baik, dan bukan hal yang aneh. Dari sisi komunikasi, orang tua yang mengirimkan anak-anaknya belajar di pesantren pun pada dasarnya tidak mengalami kesulitan karena saat ini sarana komunikasi  sangat mudah diakses. Orang tua mengirimkan anaknya ke pesantren disamping untuk belajar agama, juga sebagai sarana untuk melatih mental dan kemandirian anaknya. Tidak bermental cengeng dalam rangka menghadapi tantangan hidup akan semakin berat. 

FDS sistem pesantren terbukti telah banyak menghasilkan ulama-ulama yang kharismatik, akademisi berkualitas, pengusaha sukses, PNS, anggota TNI/Polri yang religius. Oleh karena itu, sisi baik atau manfaat dari FSD bisa bisa dipertimbangkan diadopsi oleh sekolah umum. 

Bagi sekolah yang siap dan mapan, pemberlakuan FDS mungkin  tidak menjadi masalah, tetapi bagi sekolah yang memiliki keterbatasan sarana, guru, dan biaya, pelaksanaan FDS akan menjadi beban baru. Oleh karena itu, menurut Saya, FDS tidak perlu diwajibkan atau diseragamkan, tetapi disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kemampuan tiap sekolah. 


Bagi orang tua yang ingin memasukkan anaknya ke FDS, maka dapat memilih boarding schoolatau pesantren, sedangkan bagi orang tua yang tidak ingin memasukkan anaknya ke FDS, silakan memasukkan anaknya ke sekolah umum, dan pendidikan agam diperoleh melalui pengajian di masyarakat. Hidup adalah sebuah pilihan. Wallaahu a’lam.

Idris Apandi

Dicopas dari : http://www.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

.

.
.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...