Abdillah Thoha, pendiri PAN |
Ada
tanda-tanda berbahaya dalam kehidupan demokrasi kita. Kedaulatan rakyat
akan diganti dengan kedaulatan partai. Koalisi pendukung capres kalah
Prabowo-Hatta belum ikhlas menerima kekalahannya. Kalah di Pilpres, di
Mahakamah Konstitusi, dan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tidak
menghentikan upaya mereka untuk menciptakan rambu-rambu penghalang bagi
presiden terpilih Jookowi. Setelah menggolkan UU MD3 yang kini sedang
digugat di Mahkamah Konstitusi, kini koalisi Merah Putih bersekongkol
mengepung Jokowi-Hatta di daerah-daerah dengan skema menempatkan
calon-calon kepala daerah dukungan suara mayoritas mereka di DPRD,
melalui RUU Pilkada yang rencananya akan disahkan pada tanggal 25
September mendatang.
Presiden
SBY dan partainya yang segera akan mengakhiri masa tugasnya sejauh ini
belum mendengarkan protes banyak pihak agar pemerintah menarik diri dari
pembahasan RUU tersebut. Bila berlanjut, SBY akan meninggalkan warisan
(legacy) buruk berupa kerusakan pada sistem demokrasi kita. Kita diajak
mundur kembali ketika kita mulai optimis atas terpilihnya beberapa tokoh
muda berbakat dan berkarakter sebagai kepala daerah di berbagai kota
dan kabupaten sebagai hasil pemilihan langsung oleh rakyat.
Benar
bahwa pilkada langsung masih jauh dari sempurna dan perlu terus
disemppurnakan, tetapi menghapus sistem itu dan memberikan wewenang
kepada wakil rakyat di DPRD untuk menentukan kepala daerah adalah fatal.
Kenapa? Karena yang disebut sebagai wakil rakyat itu pada kenyataannya
adalah wakil partai politik. Karenanya yang didahulukan adalah
kepentingan partai, bukan rakyat. Tidak seperti di banyak negeri lain,
undang-undang kita tidak membenarkan calon independen menjadi anggota
DPR. Sistem Pileg kita juga bukan sistem distrik. Dengan sistem
proporsional terbuka, partailah yang berkuasa penuh menentukan siapa
yang akan maju sebagai calon anggota legislatif beserta nomor urutnya.
Anggota DPR harus melaksanakan kebijakan partai. Pilihan dalam voting di
DPR/D ditentukan oleh partai. Yang melanggar bisa dipecat. Dengan
sedikit pengecualian, sebagian besar anggota DPR tidak berani melawan
kehendak partainya walaupun bertentangan dengan hati nuraninya.
Tanda-tanda
juga makin jelas bahwa koalisi Merah Putih yang akan menguasai 63%
kursi DPR RI nantinya akan “membalas” kekalahan mereka dalam pilpres
dengan mengganjal pemerintahan baru dibawah Jokowi-JK melalui hak
anggaran dan wewenangnya merancang undang-undang. Mereka tampaknya tidak
akan rela melihat pemeritah baru sukses dalam melaksanakan misinya.
Walaupun tidak mudah, bukan tidak mungkin mereka bahkan sudah
berancang-ancang mencari jalan untuk memakzulkan pemerintahan Jokowi-JK
sebelum waktunya berakhir. Semuanya ini tentunya akan buyar bila satu
dua partai anggota koalisi di belakang hari keluar dari keanggotaan
koalisi dan membelot ke kelompok partai pemerintah.
Inilah
salah satu kelemahan sistem demokrasi perwakilan. Rakyat hanya
diberikan kesempatan memilih sekali lima tahun. Partai politik bisa
bersekongkol membentuk tirani mayoritas. Namun kita tidak boleh putus
asa dengan menyalahkan sistem demokrasi. Betapapun demokrasi bermasalah,
sistem lain jauh lebih buruk, kata Sir Wisnton Churchill. Masih ada
jalan keluar. Apa itu? Monitor dan lawan bersama wakil-wakil rakyat kita
bila mereka tidak berada di jalan yang benar. Jangan kita diam dan berpangku tangan.
Monitor
terus dan catat posisi dan pemberian suara mereka dalam sidang-sidang
DPR. Kontak “wakil-wakil” anda di DPR bila mereka menyimpang dari
aspirasi rakyat. Sampaikan peringatan bahwa kita tidak akan memilih
mereka atau partainya kembali bila mereka tak memenuhi tuntutan kita.
Suarakan dengan keras di publik keberatan kita. Kumpulkan petisi dan
lakukan demonstrasi bila perlu. Tulis surat pembaca, artikel, dan minta
media masa membantu menyebarkan opini anda. Manfaatkan media sosial
untuk memperluas dukungan dan menggalang solidaritas. Sampaikan argumen
yang rasional, masuk akal, dan berpihak kepada kepentingan bangsa.
Semuanya ini tentunya harus dilakukan dengan jalan damai dan tidak
melanggar hukum dan etika.
Bila
semua itu telah dilaksanakan tetapi DPR tetap bersikukuh mengesahkan
RUU Pilkada atau RUU lain yang tidak berpihak kepada kepentingan
nasional, masih ada jalan dengan mengambil langkah berikutnya melakukan
gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi atau gugatan hukum
lainnya. Dengan demikian kita telah menjadikan diri kita warga negara
yang peduli dan bertanggung jawab. Sekaligus membuat kehidupan demokrasi
yang tidak sempurna ini menjadi lebih hidup dan berimbang. Sebuah upaya
bersama dan sungguh-sungguh diluar lembaga demokrasi resmi pasti akan
membuat para pelaku politik berpikir dua kali sebelum mencoba mengambil
langkah yang tidak menguntungkan masyarakat. Ujungnya, kehidupan
demokrasi dan berbangsa kita menjadi lebih sehat.
Beramaan dengan itu, bila keadaan tidak berubah,
pemerintah Jokowi-JK hanya akan didukung oleh kekuatan minoritas di DPR
dengan jumlah kursi 37%. Keadaan ini tidak boleh dilihat sebagai masalah
kecil. Upaya-upaya harus terus dilakukan untuk menarik partai anggota
koalisi lawan ke kubu pemerintah tanpa harus mengorbankan
prinsip-prinsip bernegara yang benar. Jokowi yang juga terpilih sebagai
presiden antara lain berkat dukungan luas jaringan relawan, harus
memelihara terus hubungan dengan mereka dan tetap menjaga semangat
relawan untuk ikut menyukseskan pemerintahannya dan bersama
menghilangkan rintangan yang menghadang jalannya pemerintahan.
Abdillah Toha
1 komentar:
Lo kok Jokowi-Hatta Pak? emang ada koalisi antar koalisi???? wah hebatttt
Posting Komentar