Ibukota Jakarta identik dengan kota besar dengan iklim kehidupan yang
keras, dan premanisme. Di Jakarta juga melahirkan kisah dan legenda
beberapa preman 'besar' dengan ratusan sampai ribuan pengikutnya.
Kelompok Hercules, (Basri) Sangaji, dan John Kei, merupakan 3 'geng' Debt Collector (penagih utang) ibukota Jakarta yang biasanya melayani tagihan di atas Rp 500 juta.
Kelompok Hercules, (Basri) Sangaji, dan John Kei, merupakan 3 'geng' Debt Collector (penagih utang) ibukota Jakarta yang biasanya melayani tagihan di atas Rp 500 juta.
Namun, jauh sebelum muncul dan merajalelanya ketiga kelompok itu, jasa penagihan utang terbesar dan paling disegani adalah kelompok pimpinan mantan gembong perampok Johny Sembiring.
Kelompok Johny Sembiring bubar saat Johny Sembiring dibunuh sekelompok orang di persimpangan Matraman Jakarta Timur tahun 1996 lalu.
Namun, yang paling populer namanya dalam satu dasawarsa ini mungkin adalah Hercules, Basri Sangaji, hingga John Kei. Berikut beberapa profil dan kisah singkat para 'pahlawan' dunia hitam di Jakarta itu:
-HERCULES
Bernama lengkap Hercules Rosario Marshal. Ia seorang pejuang yang pro terhadap NKRI ketika terjadi ketegangan Timor-timur sebelum akhirnya merdeka pada tahun 1999. Sosoknya yang berkarisma hingga Hercules dipercaya pasukan TNI, di konflik Timor-timur kala itu, memegang logistik oleh KOPASUS dalam operasi di Tim-tim.
Dalam operasi di Tim-tim itu, Hercules tertimpa nasib yang kurang beruntung hingga berakibat pada kondisi fisik dan penampilannya. Mata kanannya cacat dan begitu juga tangan kanannya, hilang hingga siku. Musibah yang dialaminya di Tim-tim kala membuatnya harus dirawat intensif di RSPAD Jakarta hingga pulih.
Saat pulih, petualangannya di ibukota Jakarta pun dimulai. Pengakuan Hercules, dirinya masuk ke Jakarta sekitar tahun 1987. Awalnya Hercules berkecimpung di Hankam Seroja yang menampung dan memberdayakan penyandang cacat seperti dirinya yang mendapat luka cacat dalam Operasi Seroja di Timor-timur.
Di Hankam Seroja, ia mendapatkan pelatihan keterampilan. “Saat itu saya sudah main ke Tanah Abang dan setelah selesai di Hankam, saya ke Tanah Abang lagi. Saya merebut daerah hitam dan di situ pertarungan sengit. Hampir tiap malam ada orang mati,” kata Hercules.
Bersama teman-temannya dari Timor Timur, Hercules mulai membangun daerah kekuasannya di Tanah Abang. Dari kelompok kecil, hingga Hercules membawahi sekitar 17.000 orang ‘pasukannya’ yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta.
Dan dari situlah perjalanan hidupnya menjadi Hercules yang di kenal sampai sekarang, ia jalani. Hidup di Jakarta tepatnya di daerah Tanah Abang yang terkenal dengan daerah ‘Lembah Hitam’, seperti diungkapkan Hercules daerah itu disebutnya sebagai daerah yang tak bertuan, bahkan setiap malamnya kerap terjadi pembacokan dan perkelahian antar preman.
Hampir setiap malam pertarungan demi pertarungan harus dia hadapi. “Waktu itu saya masih tidur di kolong-kolong jembatan. Tidur ngak bisa tenang. Pedang selalu menempel di badan. Mandi juga selalu bawa pedang. Sebab setiap saat musuh bisa menyerang,” ungkapnya
Rasanya tidak percaya Hercules menjadi sosok preman yang paling ditakuti, setidaknya di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta. Tubuhnya tidak begitu tinggi. Badannya kurus. Hanya tangan kirinya yang berfungsi dengan baik. Sedangkan tangan kananya sebatas siku menggunakan tangan palsu. Sementara bola mata kanannya sudah digantikan dengan bola mata buatan.
Tapi setiap kali nama Hercules disebut, yang terbayang adalah kengerian. Banyak sudah cerita tentang sepak terjang Hercules dan kelompoknya. Sebut saja kasus penyerbuan Harian Indopos gara-gara Hercules merasa pemberitaan di suratkabar itu merugikan dia. Juga tentang pendudukan tanah di beberapa kawasan Jakarta yang menyebabkan terjadi bentrokan antar-preman.
Belum lagi sejumlah tawuran antar-geng yang merenggut korban jiwa atau luka-luka. Sejak pertengahan 80-an kelompok Hercules malang melintang di kawasan perdagangan Tanah Abang. Tak heran jika bagi warga Jakarta dan sekitarnya, nama Hercules identik dengan Tanah Abang.
Banyak cerita dari pria yang bernama lengkap Hercules Rozario Marshal ini. Mulai sepak terjangnya ketika memulai menjadi preman di Jakarta, isu kedekatannya dengan Prabowo Subianto, hingga pengakuannya yang kini belum pernah membunuh orang dan soal mitos yang menyebut dirinya kebal peluru.
Meski tubuhnya kecil, nyali pemuda kelahiran Timtim (kini Timor Leste) 45 tahun lalu ini diakui sangat besar. Dalam tawuran antar-kelompok Hercules sering memimpin langsung. Konon cerita, pernah suatu kali dia dijebak dan dibacok 16 bacokan hingga harus masuk ICU, tapi ternyata tak kunjung tewas.
Bahkan dalam suatu perkelahian, sebuah peluru menembus matanya hingga ke bagian belakang kepala tapi tak juga membuat nyawa pemuda berambut keriting ini tamat. Ada isu dia memang punya ilmu kebal yang diperolehnya dari seorang pendekar di Badui Dalam.
Pada suatu kesempatan ada yang mencoba menanyakan salah satu mitos yang beredar di kalangan masyarakat adalah apakah Hercules kebal peluru? Dengan tersenyum Hercules, membantah hal itu. “Kita tidak kebal peluru. Kita selalu selamat karena berbuat amal, membantu anak yatim piatu. Doa mereka yang selalu membuat saya selamat,” uangkapnya.
Bantuan Sosial
Namun kini, Hercules tak seperti dulu lagi. Di balik cerita-cerita seram mengenai dirinya, jarang yang mengetahui bahwa ternyata Hercules adalah penerima penghargaan Bintang Seroja dari pemerintah, saat bergerilya di Timor Timur.
Di balik sosok dirinya yang sangar, ada sisi lain yang belum banyak diketahui orang. Dalam banyak peristiwa kebakaran, ternyata Hercules menyumbang berton-ton beras kepada para korban. Termasuk buku-buku tulis dan buku pelajaran bagi anak-anak korban kebakaran.
Begitu juga ketika terjadi bencana tsunami di beberapa wilayah, Hercules memberi sumbangan beras dan pakaian. Soal beras, memang tidak menjadi soal baginya karena Hercules memiliki tujuh hektar sawah di daerah Indramayu, Jawa Barat.
Bahkan ada juga bantuan bahan bangunan dan semen untuk pembangunan masjid-masjid. Sisi lain yang menarik dari Hercules adalah kepeduliannya pada pendidikan. “Saya memang tidak tamat SMA. Tapi saya menyadari pendidikan itu penting,” ujar ayah tiga anak ini yang menyekolahkan ketiga anaknya di sebuah sekolah internasional.
Mengenai pertobatannya, ia mengaku mulai ia lakukan sejak tahun 2006 lalu. Kini Hercules menapaki dunia bisnis di bidang perkapalan dan perikanan.
“Manusia hidup sementara. Mati akan dipanggil satu-satu, tinggal menunggu kematian. Sekarang, saya sadar, saya bertobat, masuk dunia bisnis dan membantu manusia yang membutuhkan,” kata Hercules.
Hercules juga membuat ormas yang disebutnya sebagai Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB). Dengan ormas ini Hercules berharap dapat membantu masyarakat lainya yang terkena musibah.
Soal kedekatan Hercules dengan Jenderal Prabowo Subianto. Hercules tak menampik hal itu. Namun, kedekatan dirinya dengan Prabowo mempunyai kedekatan emosional. Hal itu dikarenakan dirinya bersama Prabowo adalah alumni dari Timor Timur. Ditambahkan, beberapa orang yang terlibat semasa konflik di Tim-Tim juga diakui dekat dengan dia, “Jadi bukan hanya Prabowo saja. Tidak ada hubungannya dengan yang lain selain emosional,” terangnya.
Tak Pernah Membunuh
Diakui Hercules, dia beberapa kali berurusan dengan kepolisian. Meski pernah dipenjara beberapa waktu, Hercules mengakui hingga saat ini dirinya belum pernah sekali pun melakukan tindakan pembunuhan dan pemerasan.
Dalam kasus penyerangan ke kamar Jenazah RSCM, Hercules menyebutkan saat itu ditahan selama 60 hari dan pada kasus penyerangan kantor Indopos, dirinya ditahan selama 40 hari.
“Saya tidak pernah ditahan karena membunuh orang, memeras orang. Nama saya di kepolisian masih bersih. Mudah-mudahan tidak ada,” ucapnya.
Soal Premanisme
Dalam kasus premanisme, ia punya penilaian, banyaknya preman yang muncul dikarenakan masalah pendidikan dan tidak dimilikinya keterampilan untuk berkembang. Namun jika preman itu melakukan tindakan kekerasan maka adalah tanggung jawab kepolisian untuk menindaknya.
Biasanya preman ini berakhir bekerja sebagai debt collector atau penagih utang. Hercules pun juga mengakui dirinya pernah bekerja debt collector. ”Ya kalau tidak dibayar ya saya tagih,” katanya.(*)
JHON KEI
Jhon Kei |
Usaha jasa penagihan utangnya semakin laris ketika kelompok penagih utang yang lain, yang ditengarai dipimpin oleh Basri Sangaji, tercerai berai lantaran sang pemimpin tewas terbunuh.
Para ’klien’ kelompok Basri Sangaji pun mengalihkan ordernya ke kelompok John Kei. Basri Sangaji dikenal sebagai tokoh pemuda yang juga asal Maluku Utara. Ia meninggal dalam suatu pembunuhan sadis di hotel Kebayoran Inn di Jakarta Selatan pada 12 Oktober 2004 lalu.
Kematian Basri Sangaji, santer dikaitkan dengan Jhon Kei yang sarat dengan motif bisnis dan dendam pribadi atas kematian kakak kandung Jhon Kei dalam bentrokan antara kedua kubu masing-masing.
Jhon Kei merupakan pimpinan dari sebuah himpunan para pemuda Ambon asal Pulau Kei di Maluku Tenggara usai pasca-kerusuhan di Tual, Pulau Kei pada Mei 2000 lalu. Nama organisasi Jhon Kei, Angkatan Muda Kei (AMKEI) dengan jumlah anggotanya mencapai belasan ribu.
Lewat organisasi itu, Jhon mulai mengelola bisnisnya sebagai debt collector alias penagih utang.
Pada Maret 2005 lalu, kelompoknya terlibat perang dengan kelompok lain yang diduga anak buah dari Basri Sangaji. Saat itu sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa pembunuhan Basri Sangaji.
Namun, sebelum pembunuhan Basri Sangaji di sebuah hotel, bentrokan antara kelompok Basri dan kelompok Jhon Kei juga sempat meletus di sebuah Diskotik Stadium di kawasan Taman Sari Jakarta Barat pada 2 Maret 2004 lalu.
Saat itu kelompok Basri mendapat ‘order’ untuk menjaga diskotik itu. Namun mendadak diserbu puluhan anak buah Jhon Kei Dalam aksi penyerbuan itu, dua anak buah Basri yang menjadi petugas security di diskotik tersebut tewas dan belasan terluka.
Polisi bertindak cepat, beberapa pelaku pembunuhan ditangkap dan ditahan. Kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pada 8 Juni 2004, saat sidang mendengarkan saksi-saksi yang dihadiri puluhan anggota kelompok Basri dan Jhon Kei, kembali terjadi bentrokan.
Seorang anggota Jhon Kei yang bernama Walterus Refra Kei alias Semmy Kei terbunuh di ruang pengadilan PN Jakbar. Korban yang terbunuh itu justru kakak kandung Jhon Key. Kematian itu menimbulkan cerita yang berseliweran hingga berujung pada tewasnya Basri Sangaji.(*)
BASRI SANGAJINama lengkapnya Basri Jala Sangaji, 35 tahun, pemimpin sekelompok pemuda yang menguasai beberapa wilayah yang padat tempat hiburan di Jakarta. Dia adalah anak pertama dari mantan pejuang nasional, AM Sangaji.
Ia tewas ketika bersama bersama adiknya, Ali Sangaji, 30 tahun, dan orang kepercayaannya, Jamal Sangaji, 33 tahun. Dua orang ini terluka parah. Selangkangan Ali terluka akibat tembakan. Tangan kanan Jamal nyaris putus karena ditebas golok dalam insiden di Hotel Kebayoran Inn.
Jenazahnya kemudian dikirim ke Desa Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku Tengah. Di kampung halamannya inilah dia dikebumikan.
Sebagian dari anak buah Basri adalah "pensiunan" konflik Maluku. Dengan modal massa itu, Basri juga menjejak kancah politik. Pada pemilihan presiden kemarin, ia termasuk tim sukses pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid.(*)
sumber: www.ceritamu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar