Kalangan pakar berpendapat Pemberian Zakat, Infak dan Sedekah beberapa tahun belakangan menunjukkan peningkatan seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia. Zakat dinilai sebagai salah satu bentuk ibadah umat muslim, yang memberi dampak langsung pada pemerataan ekonomi Indonesia.
Salah seorang pimpinan dari lembaga pengelola zakat, Rini Supri Hartanti dari Dompet Dhuafa mengatakan di Jakarta Kamis (18/7), potensi perkiraan pemberian zakat, infak dan sedekah (ZIS) di tanah air, jika di akumulasi pertahunnya dapat mencapai 217 triliun rupiah. Nilai sejumlah itu menurut Rini terwujud, salah satunya karena Indonesia sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar.
Rini mengatakan, “Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan ADB (Asian Development Bank) menyebut 217 triliun rupiah.Sementara yang tercatat, terhimpun di Asosiasi Lembaga Zakat di Indonesia yaitu Forum Zakat Nasional baru sekitar 1,5 triliun rupiah. Kalau perkembangan dari tahun ke tahun itu cukup berarti. ”
Rini mengatakan, partisipasi umat muslim harus terus didorong. Lebih lanjut ia mengatakan, “Sekarang yang perlu ditumbuhkan itu adalah kesadaran masyarakat untuk berzakat. Agar masyarakat percaya kita butuhkan sistem.Kalau kita dari lembaga zakat harus ada good governance (tata kelola yang baik), trasparansinya, akuntabel dan responsibility-nya,seperti itulah.”
Beberapa pakar dan praktisi yangmembidangi masalah zakat hadir sebagai panelis dalam dialog nasional yang bertema “Zakat, Infak dan Sedekah sebagai solusi mengatasi krisis Ekonomi Bangsa.” Diskusi diprakarsai Lembaga Konsumen Hijau (Lemkohi ) Kamis sore, berlangsung di Jakarta Media Center (JMC) Jakarta Pusat.
Turut hadir sebagai panelis pengurus Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Dr. Naharus Surur. Menurut Naharus Surur pengelolaan zakat selama ini sepenuhnya menjadi otoritas daerah.
Ia mengatakan, “Zakat itu harus dipungut di satu daerah , dikembalikan ke daerah itu.Pada semangatnya begitu, dana (zakat) yang dipungut dari Jawa Tengah nggak mungkin ke Jakarta, dibagikan di daerah itu lagi.”
Dr Naharus Surur dari Baznas mengatakan, Indonesia telah memiliki payung hukum yaitu Undang Undang tentang pengelolaan Zakat (UU No 38 Tahun 1999). Namun menurutnya UU tersebut tengah dalam pembahasan DPR RI bersama pemerintah, terutama setelah disepakatinya untuk melakukan amandemen (perubahan resmi), agar Indonesia memiliki UU Zakat yang lebih kuat dan sempurna.
Ia mengatakan, “Belum-belum kesepakatan masalah definisi belum selesai, masih berproses. Harapannya masa sidang berikutnya dilanjutkan pembahasan .”
Sementara Rini Supri Hartanti dari Dompet Dhuafa mengatakan, sejumlah negara di dunia yang cukup baik dalam mengelola zakat, diantaranya Jordania, Singapura dan Malaysia.
“Jordan misalnya ada, kemudian Singapura sudah lumayan meskipun disana penduduk muslim minoritas, ” ujar Rini.
Pakar mengatakan, zakat perlu dimaknai memiliki peran sosial yang sama seperti pajak. Zakat menurut pakar merupakan satu-satunya rukun Islam yang tidak saja merupakan ibadah ritual semata, tetapi juga mempunyai dampak ekonomi dan sosial yang sangat luas. Zakat adalah kewajiban ekonomi yang wajib dipenuhi oleh umat muslim yang dibayarkan setiap tahun.
Tekan Angka Kemiskinan
Jika dikelola dengan baik dan melalui kerja sama sinergi antara pemerintah dan lembaga pengelola zakat maka kemiskinan di tanah air mampu ditekan.
Kepada VoA di Jakarta, Jumat, Guru Besar Sosiologi Islam, Bambang Pranowo berpendapat hingga saat ini pengelolaan zakat di Indonesia belum ideal. Menurutnya meski lembaga pengelola zakat semakin berkembang namun akan lebih baik jika zakat dikelola melalui kerjasama dengan pemerintah karena pemerintah memiliki data wilayah-wilayah di tanah air dengan pendukuk kurang mampu.
Bambang mengatakan, “Kalau idealnya kan sebetulnya harus ditangkap semangatnya itu untuk bisa menjadikan orang yang miskin menjadi tidak miskin, jadi sekarang masih arahnya konsumtif, yang diarahkan ke yang lebih produktif itu melalui lembaga-lembaga tertentu saja, seperti misalnya dompet dhuafa, lembaga zakatnya Muhammadiyah, mungkin NU juga, tetapi masih terbatas saya lihat laporan-laporannya ada yang sudah cukup bagus tetapi ada banyak yang masih lebih konsumtif dan memang mayoritas orang berzakat sendiri-sendiri.”
Jika selama ini banyak masyarakat mempertanyakan mana yang lebih baik apakah berzakat dengan cara langsung atau melalui lembaga pengelola zakat, Bambang Pranowo menjelaskan, kedua mekanisme itu sempurna meski menurutnya lagi akan lebih baik jika dilakukan dengan melibatkan keduanya.
“Orang kan hidup bertetangga, berkeluarga, kalau langsung ke badan zakat itu tentu kemudian bagaimana dengan tetangganya, bagaimana dengan keluarganya kalau yang miskin yang tidak dapat, jadi oleh karena itu kombinasi, sebagian melalui lembaga itu, sebagian dia yang tahu siapa orang terdekat yang layak menerima zakat,” ujar Bambang.
Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berzakat menurut Bambang Pranowo seharusnya dimbangi dengan upaya pemerintah untuk lebih mampu mengelola zakat secara profesional.
Bambang menambahkan, “Kalau pemerintahnya itu bisa mendorong itu termasuk suatu cara untuk mengatasi kemiskinan, masyarakat kadang-kadang kenapa kok menyalurkan zakatnya ke lembaga karena dia lihat hasilnya kongkrit, jadi pemerintah ini mestinya harus membangun trust dari masyarakat”
Hal senada juga disampaikan Rini Supri Hartanti, pengeloa lembaga zakat Dompet Dhuafa.
“Saya rasa Indonesia harus punya pendekatan yang berbeda, sekarang yang perlu ditumbukan itu adalah kesadaran masyarakat untuk berzakat, bagaimana agar masyarakat percaya tentu dibutuhkan sistem, transparansi nya, accountability-nya , responsibility-nya,” ujar Rini.
Sebelumnya Badan Amil Zakat Nasional mencatat dengan mayoritas penduduk muslim dan perbaikan ekonomi masyarakat serta jika dikelola dengan baik, potensi zakat di Indonesia sebesar Rp 217 trilyun. Namun, hingga saat ini rata-rata per tahun yang mampu dihimpun Asosiasi lembaga zakat di Indonesia hanya sekitar Rp 1,2 hingga Rp 1,5 trilyun.
Kepada VoA di Jakarta, Jumat, Guru Besar Sosiologi Islam, Bambang Pranowo berpendapat hingga saat ini pengelolaan zakat di Indonesia belum ideal. Menurutnya meski lembaga pengelola zakat semakin berkembang namun akan lebih baik jika zakat dikelola melalui kerjasama dengan pemerintah karena pemerintah memiliki data wilayah-wilayah di tanah air dengan pendukuk kurang mampu.
Bambang mengatakan, “Kalau idealnya kan sebetulnya harus ditangkap semangatnya itu untuk bisa menjadikan orang yang miskin menjadi tidak miskin, jadi sekarang masih arahnya konsumtif, yang diarahkan ke yang lebih produktif itu melalui lembaga-lembaga tertentu saja, seperti misalnya dompet dhuafa, lembaga zakatnya Muhammadiyah, mungkin NU juga, tetapi masih terbatas saya lihat laporan-laporannya ada yang sudah cukup bagus tetapi ada banyak yang masih lebih konsumtif dan memang mayoritas orang berzakat sendiri-sendiri.”
Jika selama ini banyak masyarakat mempertanyakan mana yang lebih baik apakah berzakat dengan cara langsung atau melalui lembaga pengelola zakat, Bambang Pranowo menjelaskan, kedua mekanisme itu sempurna meski menurutnya lagi akan lebih baik jika dilakukan dengan melibatkan keduanya.
“Orang kan hidup bertetangga, berkeluarga, kalau langsung ke badan zakat itu tentu kemudian bagaimana dengan tetangganya, bagaimana dengan keluarganya kalau yang miskin yang tidak dapat, jadi oleh karena itu kombinasi, sebagian melalui lembaga itu, sebagian dia yang tahu siapa orang terdekat yang layak menerima zakat,” ujar Bambang.
Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berzakat menurut Bambang Pranowo seharusnya dimbangi dengan upaya pemerintah untuk lebih mampu mengelola zakat secara profesional.
Bambang menambahkan, “Kalau pemerintahnya itu bisa mendorong itu termasuk suatu cara untuk mengatasi kemiskinan, masyarakat kadang-kadang kenapa kok menyalurkan zakatnya ke lembaga karena dia lihat hasilnya kongkrit, jadi pemerintah ini mestinya harus membangun trust dari masyarakat”
Hal senada juga disampaikan Rini Supri Hartanti, pengeloa lembaga zakat Dompet Dhuafa.
“Saya rasa Indonesia harus punya pendekatan yang berbeda, sekarang yang perlu ditumbukan itu adalah kesadaran masyarakat untuk berzakat, bagaimana agar masyarakat percaya tentu dibutuhkan sistem, transparansi nya, accountability-nya , responsibility-nya,” ujar Rini.
Sebelumnya Badan Amil Zakat Nasional mencatat dengan mayoritas penduduk muslim dan perbaikan ekonomi masyarakat serta jika dikelola dengan baik, potensi zakat di Indonesia sebesar Rp 217 trilyun. Namun, hingga saat ini rata-rata per tahun yang mampu dihimpun Asosiasi lembaga zakat di Indonesia hanya sekitar Rp 1,2 hingga Rp 1,5 trilyun.
Pengelolaan Zakat di Amerika
Di banyak negara yang penduduknya mayoritas Muslim, pemerintah biasanya berperan besar dalam mengumpulkan dan menyalurkan zakat. Di Amerika, tidak demikian halnya. Walaupun begitu. prinsip pemberiannya tetap sama, yaitu mendahulukan kerabat yang miskin, baru kemudian orang-orang miskin lain di sekitar kita.
Zakat Foundation of America, organisasi amal internasional yang berkantor pusat di Chicago, kerap menjadi acuan bagi Muslim Amerika dalam menghitung zakat. Selain membantu menyalurkan zakat, organisasi itu juga membantu Muslim Amerika menghitung zakat secara cepat dengan meluncurkan “Zakat Calculator," sejenis program piranti lunak penghitungan pajak. Dengan memasukkan semua aset yang dimiliki, seperti uang pengembalian pajak, inventaris bisnis, tabungan, dan deposito, ke dalam sistem itu, Kalkulator Zakat memberi penghitungan otomatis.
Menurut Khalil Demir, direktur organisasi itu, program Kalkulator Zakat sangat membantu orang yang tidak yakin aset apa saja yang termasuk dalam penghitungan zakat, khususnya karena banyak Muslim Amerika ikut dalam program-program finansial Amerika, seperti tabungan pensiun dan lain-lainnya.
Dengan piranti lunak itulah Syed Ismail, ilmuwan peneliti NASA di Hampton, Virginia, menghitung zakat berdasarkan aset yang dimilikinya dan perhiasan isterinya. Ia kemudian mengirim uang zakat kepada kerabatnya yang miskin di India, dan sebagian lainnya kepada beberapa organisasi amal Amerika, termasuk Badan Amal Muslim di Norfolk, Virginia, yang menyalurkan bantuan bagi kelompok miskin di wilayah itu.
Irfan Rydhan, seorang arsitek lulusan UC Berkely yang tinggal di San Fransisco, juga melakukan penghitungan zakat dengan cara itu. Seperti halnya Ismail, ia memberi sebagian uang zakat kepada orang-orang Muslim di kotanya yang diketahuinya secara pribadi membutuhkan bantuan keuangan. Sisanya dikirim ke beberapa badan amal di wilayah tempat tinggalnya dan badan amal internasional.
Cara membayar zakat yang dilakukan Ismail dan Rydhan umum dilakukan Muslim Amerika. Raza Farrukh dari Islamic Circle of North America mengatakan, “Dalam bulan Ramadan, masyarakat Muslim sangat aktif. Kami bisa menghubungi banyak orang untuk mendapatkan sumbangan bagi kaum duafa.”
Hasilnya, ratusan orang tua murid di Yonkers, New York, berbesar hati atas bantuan Islamic Circle of North America yang telah menyediakan berbagai alat keperluan sekolah yang kebanyakan tidak mampu mereka beli. Peggy Kirkpatrick, Direktur Eksekutif Central Missouri Food Bank, juga merasa bersyukur atas kedermawanan Islamic Center of Central Missouri yang tidak putusnya ditunjukkan sejak bertahun-tahun. Sementara, warga Indian Sioux di reservasi Crow Creek, South Dakota, setiap Ramadan menanti kedatangan rombongan sukarelawan Islamic Relief USA yang membawa sumbangan makanan dan pakaian.
Jadi bisa dibilang, dampak positif amal selama Ramadan terhadap masyarakat kelas bawah Amerika cukup besar, khususnya dalam beberapa tahun terakhir sejak mulai lesunya perekonomian di Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar