Opini umum yang terbentuk bagi para pemakai jasa internet mengetahui bahwa cybercrime merupakan perbuatan yang merugikan. Para korban menganggap atau memberi stigma bahwa pelaku cybercrime adalah penjahat. Akan tetapi banyak hambatan yang ditemukan dalam upaya melakukan penyidikan terhadap cybercrime antara lain berkaitan dengan masalah perangkat hukum, kemampuan penyidik, alat bukti, dan fasilitas komputer forensik.
1. Perangkat hukum yang belum memadai
Pada umumnya penyidik di lingkungan unit tugas Serse mengetahui tentang cybercrime dan yakin bahwa cybercrime telah terjadi namun para penyidik masih menganggap lemahnya peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan terhadap pelaku cybercrime, sedangkan penggunaan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHP seringkali masih cukup meragukan bagi penyidik. Undang-Undang yang mengatur tentang cybercrime merujuk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dipandang masih belum cukup. Maka perlu dibuat undang-undang yang khusus mengatur cybercrime.
Secara umum penyidik Polri masih sangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus itu. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh (determinan) adalah:
a. Kurangnya pengetahuan tentang komputer.
b. Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cybercrime masih terbatas.
c. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik.
Secara umum di Indonesia masih sangat kurang jumlah penyidik yang pernah terlibat dalam penanganan kasus cybercrime ditambah lagi persoalan para petugas belum pernah mendapat pendidikan khusus untuk melakukan penyidikan terhadap kasus cybercrime. Sebab dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker.
3. Alat Bukti
Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu:
- Sasaran atau media cybercrime adalah data dan atau sistem komputer atau sistem internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya. Oleh karena itu, data atau sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman (recorder) yang belum diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah.
- Kedudukan saksi korban dalam cybercrime sangat penting disebabkan cybercrime seringkali dilakukan hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi lain, saksi korban seringkali berada jauh di luar negeri sehingga menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan pemberkasan hasil penyidikan.
Penuntut umum juga tidak maumenerima berkas perkara yang tidak dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Saksi khususnya saksi korban dan harus dilengkapi dengan Berita Acara Penyumpahan Saksi disebabkan kemungkinan besar saksi tidak dapat hadir di persidangan mengingat jauhnya tempat kediaman saksi. Hal ini mengakibatkan kurangnya alat bukti yang sah jika berkas perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan sehingga beresiko terdakwa akan dinyatakan bebas.
Mengingat karakteristik cybercrime, diperlukan aturan khusus terhadap beberapa ketentuan hukum acara untuk cybercrime. Pada saat ini, yang dianggap paling mendesak oleh Peneliti adalah pengaturan tentang kedudukan alat bukti yang sah bagi beberapa alat bukti yang sering ditemukan di dalam Cybercrime seperti data atau sistem program yang disimpan di dalam disket, hard disk, chip, atau media recorder lainnya.
4. Fasilitas Komputer Forensik
Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreacker dalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas forensic computing yang memadai.
Fasilitas forensic computing yang akan didirikan Polri diharapkan akan dapat melayani tiga hal penting yaitu evidence collection, forensic analysis, expert witness.
Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi hambatan yang ditemukan di dalam melakukan penyidikan terhadap cybercrime antara lain hendaklah dilakukan penyempurnaan perangkat hukum, mendidik para penyidik, membangun fasilitas forensic computing, meningkatkan upaya penyidikan dan kerja sama internasional, serta melakukan upaya penanggulangan pencegahan.
----------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Agus Raharjo, 2002, “Cybercrime”, cetakan pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Andi Hamzah, 1990, “Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer”, cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Andi Hamzah, 1990, “Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer”, cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
“Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Komputer”, Sinar Grafika, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar adalah proyeksi pemahaman. Orang paham pasti bisa komentar