Banyaknya tawuran antar pelajar di Indonesia merupakan fenomena menarik untuk dibahas. “Tawuran” mungkin kata tersebut sering kita dengar dan baca di media
massa. Bagi warga Jakarta, aksi-aksi kekerasan baik individual maupun
massal mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini beberapa televisi
sepertinya membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita
tentang aksi kekerasan. Dalam penanggulangan fenomena tawuran, perlu dilakukan kebijakan mengatasi faktor-faktor akar permasalahan yang mempengaruhi berkembangnya perilaku tawuran.
Ekpresi Naluri Agresi
Pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA, bila
ditinjau dari segi usianya, sedang mengalami periode yang sangat
potensial bermasalah. Periode ini sering digambarkan sebagai storm and
drang period (topan dan badai). Dalam kurun ini timbul gejala emosi dan
tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi
konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah
mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika
tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan
mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu
“tawuran”.
Tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku
agresi, karena dalam tawuran terdapat perilaku baik fisik atau lisan
yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain.
Masa Remaja merupakan masa manusia mencari jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya. Yang dinamakan kelompok tidak hanya lima atau sepuluh orang saja. Satu sekolah pun bisa dinamakan kelompok. Kalau kelompok sudah terbentuk, akan timbul adanya semacam ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelomponya. Maka tidak heran, apabila kelompoknya diremehkan, emosianal-lah yang akan mudah berbicara.
Masa Remaja merupakan masa manusia mencari jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya. Yang dinamakan kelompok tidak hanya lima atau sepuluh orang saja. Satu sekolah pun bisa dinamakan kelompok. Kalau kelompok sudah terbentuk, akan timbul adanya semacam ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelomponya. Maka tidak heran, apabila kelompoknya diremehkan, emosianal-lah yang akan mudah berbicara.
Pada fase ini, remaja termasuk kelompok yang rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara kolektif (group deviation). Mereka patuh pada norma kelompoknya yang sangat kuat dan biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku. Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat pengaruh pergaulan atau teman. Kesatuan dan persatuan kelompok dapat memaksa seseorang untuk ikut dalam kejahatan kelompok, supaya jangan disingkirkan dari kelompoknya. Disinilah letak bahayanya bagi perkembangan remaja yakni apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif.
Akibat Frustasi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh
sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan,
pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara
berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat
dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur,
keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi
tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan
berperilaku agresi.
Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi
sangat banyak contohnya, salah satunya tawuran pelajar yang terjadi di
Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang
cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh
banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat
banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah
lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian.
Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan
hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain
padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
Frustasi yang muncul dari akibat faktor luar
menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar dibandingkan dengan
halangan yang diebabkan diri sendiri. Hasil penelitian Burnstein dan
Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap akan mendorong perilaku
agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku agresi karena orang
menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak
menentu(uncertaint) akan memicu perilaku agresi semakin besar
dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang menentu.
Informasi Adegan Kekerasan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini
anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui
Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan.
Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat
ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film
kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV
yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan
remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau
sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton
untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa
tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
penontonnya.
Model pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangka dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksiksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Hal itu dapat memperkuat perilaku agresi yang sangat efektif bagi dirinya.
Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak dimasa mendatang.
Permainan-permainan yang mengandung unsur
kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan,
pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan
model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis
jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena
memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang
menyenangkan.
Pengaruh Kualitas Lingkungan
Setidaknya ada 3 faktor lingkungan yang ikut membentuk pribadi agresif yaitu lingkungan sekolah, keluarga dan lingkungan tempat tinggal.
1. Lingkungan Sekolah
Yang petama faktor fisik lokasi sekolah seperti berdekatan dengan pusat-pusat
hiburan/ keramaian, kurangnya sistem pengamanan lingkungan, serta tidak
tersedianya sarana yang membuat anak-anak betah di sekolah. Selanjutnya adalah
faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan kelancaran proses
belajar-mengajar di sekolah. Selain itu faktor efektivitas interaksi
edukatif di sekolah juga berpengaruh pada perilaku anak didik.
2. Rumah Tangga
Ketidakharmonisan rumah tangga dan pola asuh yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun
pola membebaskan) serta hubungan dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah dan mencari
pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya.
Hal ini tidak
jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat, seperti
perkelahian.
3. Kampung
Kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak
berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja
dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya. Bagi
remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka
tidak akan nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari
kenyataan. Pada kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat
menyimpang karena lepas dari norma dan pengawasan di rumah .
Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk berperilaku menyimpang.
Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk berperilaku menyimpang.
Penanggulangan masalah tawuran pelajar tidak bisa diserahkan kepada penyelenggara pendidikan (sekolah) dan lembaga keamanan - ketertiban (polisi) saja, akan tetapi menjadi tanggungjawab seluruh komponen masyarakat dari lembaga sosial paling dekat yaitu keluarga sampai pimpinan daerah pengambil kebijakan pengelolaan wilayah. Dari segi penegakan hukum dan pembinaan pelaku tawuran atas kasus perkasus harus tetap dilaksanakan supaya tawuran tidak terulang.
Faktor-faktor yang ikut mempengaruhi perkembangan perilaku agresif pada anak harus segera ditangani, pembinaan pembentukan karakter positif anak didik perlu mendapat porsi yang lebih.
dan lagi pelajaran,tugas,dan ulangan yg bgitu bnyak bikin stress hehehe komen back yaw
BalasHapuswaduh,
BalasHapusbaca artikel ini serasa mau balik ke SMA.. hehehee