Sebuah kejadian di sekolah, ketika anak-anak sedang melalui kewajiban untuk mengikuti ujian akhir sekolah. Sebelumnya, mereka telah berusaha belajar berbulan-bulan di bawah bimbingan guru, dan mengerjakan beratus-ratus soal-soal latihan. Padahari pelaksanaan ujian, mereka merasa mantap dengan persiapan yang telah dilakukan selama ini.
Kesiapan mental mereka ternyata mulai goyah setelah mulai membaca soal-soal ujian yang dibuat oleh sekolah lain. Ternyata model soal serta materi yang ditanyakan di sana sangat jauh berbeda dengan apa yang selama ini diajarkan oleh guru mereka! Tentu saja, anak-anak pun kelabakan menghadapinya.
Seorang anak segera mengalami down, kejatuhan mental karenanya. Timbul perasaan kecewa yang sangat berat karena ternyata persiapan matang yang sudah dilakukan selama ini salah dan tak berguna. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing, wajahnya tegang, dan hafalan-hafalan rumus yang semula sudah lekat di kepala pun tiba-tiba hilang tak bersisa. Ia menghabiskan waktu dengan mencoret-coret lembar jawaban, terus-menerus
mendesah dan mengeluh jengkel, sambil melirik kanan kiri, melihat reaksi teman di kanan kirinya, berharap ada teman yang sama bingungnya dengan dirinya. Akhirnya iapun menyelesaikan ujiannya dengan hampir separuh soal tak terisi.
Anak yang lain bereaksi dengan mencoba meredam keterkejutannya, melihat betapa sulit soal yang dihadapinya. Ia menarik nafas panjang, menegakkan punggungnya, dan berusaha menenangkan hatinya. Sempat timbul keraguan, bisakah ia mengerjakannya?
Namun hati kecilnya cepat menepis keraguan itu. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia telah berusaha sebaik mungkin untuk belajar. Diingatnya pesan ibunya, bahwa Allah menilai berdasarkan seberapa besar usaha seseorang, bukan seberapa besar hasilnya. Maka ia pun mulai mencoba membaca dengan hati-hati soal demi soal dengan tenang, dan mencoba menjawab sebatas kemampuannya. Ternyata, ia bisa menyelesaikan seluruh soal yang ada, walaupun banyak yang diisinya penuh keraguan, namun ia tak membiarkannya kosong tak berisi, karena bukankah mencoba mengisinya masih lebih baik dari pada tidak diisi sama sekali?
Dalam kisah di atas, anak sedang dihadapkan kepada situasi yang menegangkan dan menimbulkan kekecewaan serta kekhawatiran yang mencekam. Dan kedua anak telah menunjukkan dua reaksi emosi yang berbeda dalam menghadapinya. Anak pertama tak mampu mengatasi stress yang dialaminya, sehingga ia tak bisa mengontrol kepandaian otak rasionalnya. Sebaliknya anak kedua mampu mempertahankan kestabilan perasaan dan emosinya dalam menghadapi ketegangan tersebut, sehingga berhasil menguasai otak rasionalnya. Ia telah memiliki emosi yang cerdas, yang akhirnya menyelamatkan nasibnya dalam ujian tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar adalah proyeksi pemahaman. Orang paham pasti bisa komentar